Program Sarana Angkutan Umum Massal sebagai sarana transportasi di kota-kota di Indonesia dinilai bisa tidak tercapai. Banyak persoalan yang menghambat program tersebut, termasuk keengganan Pemerintah Daerah mengembangkan alat transportasi jenis ini.
Hal itu disampaikan pengamat transportasi dari Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata, Semarang, Djoko Setjiowarno kepada beritatrans.com dan Tabloid Mingguan Berita Trans, Minggu (21/8/2016).
Djoko mengatakan, saat ini ada sekitar 20 kota atau perkotaan yang sudah menjalankan operasi transportasi umum dengan bus transit yang di daerah dikenal dengan bus rapid transit (BRT).
Ke-20 kota itu adalah: Banda Aceh (Trans Koetaradja), Medan (Trans Mebidang), Padang (Trans Padang), Pekanbaru (Trans Metro Pekanbaru), Batam (Trans Batam), Palembang (Trans Musi), Bandar Lampung (Trans Bandar Lampung), Bogor (Trans Pakuan), Jakarta (Trans Jakarta), Tangerang dan Bekasi (Trans Jabodetabek), Bandung (Trans Metro Bandung), Semarang (Trans Semarang), Surakarta (Batik Solo Trans), Yogyakarta (Trans Jogja), Balikpapan (Trans Balikpapan), Denpasar (Trans Sarbagita), Gorontalo (Trans Hulontalangi), Manado (Trans Kawanua), Ambon (Trans Amboina), dan Sorong yang baru akan beroperasi tahun ini.
“Di Manado dan Gorontalo sudah tidak beroperasi lagi. Sementara di Balikpapan ygang semula 4 armada, sekarang tinggal 1 bus yang beroperasi,” katanya.
Menurutnya, gairah kepala daerah untuk mengembangkan SAUM sungguh rendah. Sementara pemerintah pusat hanya banyak memberi bantuan sejumlah armada.
Terkadang jumlah armada untuk satu koridor saja masih kurang. Dan harapannya, kekurangan tersebut ditambahkan oleh Pemda.
Namun dalam kenyataannya malah berkurang bahkan ada yang gulung tikar. Trans Batam yang mulai dioperasikan thn 2004, sekarang sudah tidalk menunjukkan pelayanan yaang signifikan.
Pemda yang telah mengeoperasikan SAUM hanya sekadar menggugurkan kewajiban. “Hanya dua Pemda yang serius urus transportasi, yakni Pemprov DKI Jakarta dan Pemkot Surakarta. Terlihat dari besaran prosentase yangg dianggarkan kepada Dishub setempat yang rata rata sudah di atas 3% dari APBD.
Sejatinya, bantuan armada tidak dibutuhkan. Jika ada, hanya diberikan sekedar insentif awal. Percuma dibantu sejumlah armada, jika dana operasional tidak disubsidi. Sebab, yang paling besar mengoperasikan SAUM adalah biaya operasional.
“Oleh sebab itu perlu segera diluncurkan PSO Transportasi Umum Berbasis Jalan untuk membantu operasional SAUM di daerah,” kata Djoko.
Disamping itu, untuk lebih mengikat kepala daerah, diperlukan SKB antara Kemenhub dan Kemendagri.
Subsidi pun tidak hanya berasal dari pemerintah tetapi dapat juga berasal dari swasta.
Belajar dari kota-kota di Perancis, pengguna SAUM hanya membayar 20%, sisanya disubsidi oleh pemerintah (40%) dan swasta (40%).
“Bahkan di Kota Lion, subsidi ditanggung perusahaan swasta setempat. Pemda hanya sebagai regulator,” kata Djoko.
Djoko menyarankan, agar program ini tidak mubazir, penguatan sistem kelembagaan, pemanfaatan IT, dan peningkatan SDM yang akan mengelola SAUM harus diberikan ke daerah, karena hal tersebut tidak berjalan di daerah, sehingga tidak ada upaya melakukan inovasi dan kreasi dalam upaya menarik pengguna kendaraan pribadi beralih ke transportasi umum.
“Jika hal ini tidak diperhatikan seksama, bisa bisa program SAUM yang sudah diamanatkan dalam RPJMN 2015-2019 hanya bagi-bagi bus. Padahal SAUM merupakan salah satu upaya program transportasi berkelanjutan (sustainable transportation),” tuturnya.
Sekadar Informasi, saat ini Kemenhub sedang membuat program pengadaan ribuan bus dengan rincian tahun 2015 (1.000 bus), 2016 (500 bus), 2017 (500 bus), 2018 (500 bus), dan 2019 (500 bus).
Tautan : http://beritatrans.com