“Recharging atau memperkuat kembali spirit para dosen di Unika perlu dilakukan dengan beberapa penguatan meliputi : pertama adalah kekuatan spiritual yaitu wujud pengabdian kita kepada yang mencipta kita, kedua adalah kekuatan intelektual yaitu harus kuat dan mumpuni di bidang studinya, ketiga adalah kekuatan emosional yaitu fokus pada materi yang diajarkan dan bisa membawa suasana positip dalam proses pembelajaran supaya berkembang secara optimal, keempat adalah kekuatan sosial yaitu memiliki kepekaan sosial dan mau membantu siapa pun tanpa membeda-bedakan status atau golongan, kelima adalah kesehatan artinya bisa menjaga kesehatan supaya tetap sehat secara medis” jelas Prof. Dr. H. Arief Rachman, M.Pd. dalam seminar Pedagogi dan Andragogi Inspiratif yang diselenggarakan pada Rabu (14/9) dan bertempat di Ruang Theater Gedung Thomas Aquinas.
Lebih lanjut, Prof. Arif menjelaskan “Hampir di seluruh Indonesia pendidik lembaga formal baik SD, SMP, dan SMA lebih banyak memperhatikan pada evaluasi pada kognitif, padahal kesuksesan tidak hanya dilihat dari prestasi pelajaran saja tetapi juga dilihat dari keaktifan dalam kegiatan, “ tambahnya.
Sebuah universitas hendaknya menjadi sumber rencana pembangunan dari sebuah kota, sumber rencana pembangunan kesehatan manusia, dan sumber rencana pembangunan kesejahtaraan ekonomi suatu daerah.
Hal lain dijelaskan “Diupayakan supaya kampus bisa menjadi home atau magnet bagi para mahasiswa untuk datang dan belajar, yakni dengan proses pendidikan yang interaktif dalam satuan pendidikan yang sedemikian rupa supaya menjadi lebih hidup,”tandas Prof. Arif yang juga seorang Executive Chairman of The Indonesian National Commission to UNESCO serta guru besar di Universitas Negeri Jakarta.
Nilai-nilai Pengembangan Karakter Mahasiswa
Sementara itu, Dr. Augustina Sulastri, S.Psi, Psi yang akrab di sapa Bu Lastri ini memberikan materi mengenai konsep pendidikan untuk menanamkan nilai – nilai yang dapat mengembangkan karakter mahasiswa agar menjadi lebih baik. Menurut Bu Lastri, kemajuan teknologi informasi serta arus globalisasi yang melanda dunia pendidikan khususnya Perguruan Tinggi patut untuk disikapi dengan bijak.
“Di era digital zaman ini, sangat mudah sekali untuk mengakses informasi dari internet. Kebanyakan mahasiswapun tidak perlu diminta untuk mencari, sudah langsung memanfaatkan teknologi untuk memahami segala sesuatu yang kurang mereka pahami. Perguruan Tinggi serta tenaga pendidik seakan kehilangan monopoli akan pemberian informasi tersebut. Namun bagaimana caranya agar mahasiswa tetap belajar bersama dosen sebagai tenaga pendidik dengan memberikan sentuhan yang baru dalam mendidik “jelas Bu Lastri
Menurutnya, semakin mudahnya informasi didapat, juga turut mempengaruhi kemampuan intelektual yang kemudian disebut dengan intelegensi dan identik dengan prestasi akademik. Intelegensi para mahasiswa dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor hereditas (keturunan), perkembangan fisik maupun neurologis serta kondisi tubuh namun juga faktor sosial perlu dipertimbangkan kembali dalam mengembangkan kemampuan intelektual,
“Intelektual tersebut hanyalah abstrak, tidak bisa dilihat namun bisa terukur dan bisa dirasakan. Memang berbagai faktor laten dalam tubuh dapat mempengaruhi intelegensi, namun kita bisa menyiasati dengan mengubah faktor sosial yang lebih baik lagi. Intelegensi berkaitan dengan kemampuan belajar baik dalam memperoleh informasi maupun menggunakan kemampuan secara adaptif dalam lingkungan baru. Intelegensi juga melibatkan proses interaksi dan koordinasi kompleks dari berbagai proses mental. Diperlukannya penguatan-penguatan informasi kepada mahasiswa untuk meningkatkan keterikatan neuron-neuron dalam otak agar lebih bekerja dengan merencanakan proses belajar yang sesuai dengan kondisi otak siswa” tuturnya.
Pada akhirnya, ketika semua neuron memiliki keterikatan satu sama lain, akan memudahkan tenaga pendidik untuk membentuk karakter-karakter mahasiswa melalui beberapa penguatan. Penguatan tersebut dapat didasarkan pada 4 pilar dasar pendidikan yakni Belajar untuk tahu, belajar untuk melakukan, belajar untuk hidup bersama, belajar untuk menjadi. Di Unika sendiri sebenarnya sudah mencakup 4 hal tersebut dan didukung pengembangan softskill mahasiswa dengan adanya berbagai kegiatan kemahasiswaan yang disusun mulai dari kegiatan Orientasi hingga pemilihan karier. Pada akhirnya Pendidik pula yang mengambil peran sebagai lingkungan sosial bagi mahasiswa, selain melakukan kegiatan belajar mengajar, melakukan percakapan informal di luar kelas memberikan kesempatan kepada dosen untuk menanamkan proses internalisasi kepada mahasiswa untuk membentuk manusia yang utuh. (Ign)