Komersialisasi dan privatisasi Internet mulai terjadi pada tahun 1980-an dengan di ijinkannya Internet Service Provider (ISP) untuk beroperasi. Internet mulai booming pada tahun 1990-an. dan menjadi kunci pemicu perubahan dalam budaya dan dunia usaha. Internet menawarkan pola komunikasi cepat menggunakan e-mail, diskusi bebas di forum, dan Web. Perkembangan teknologi internet juga mendorong dunia usaha di Indonesia untuk menggunakan media online sebagai alat untuk menjangkau pembeli atau pelanggannya. Secara khusus yaitu online produk pangan yang turut meramaikan bisnis online selain pakaian, sepatu, eletronik, wisata, perhotelan dan masih banyak lagi bisnis online lainnya.
Menganggapi perkembangan bisnis online produk pangan yang juga sudah mulai muncul di masyarakat, maka Unika Soegijapranata dengan Fakultas Teknologi Pertanian yang mempunyai kompetensi kuat di bidang pangan, ditambah IT dan ilmu Hukum, terpanggil untuk mencoba mendalami lebih jauh tentang “Online Food Products: Penjaminan mutu, keamanan pangan dan perlindungan konsumen” supaya masyarakat awam menjadi lebih mengetahui tentang Online Food Products dan kemanfaatannya manakala mereka menggunakan media ini untuk berbelanja makanan, melalui seminar yang diadakan pada hari Rabu (19/10) di ruang Teater Gedung Thomas Aquinas.
Acara yang menghadirkan seorang praktisi sekaligus owner suatu perusahaan ternama di kota Semarang yang bergerak dalam bidang produk makanan, Harjanto Halim, MSc telah mengulas banyak sisi produk makanan yang dijual secara online. “Sebenarnya akademisi dapat membantu dengan gerakan-gerakan untuk mensosialisasikan dan mengontrol secara tidak langsung produk makanan online, hanya saja perlu dilihat legalitasnya serta keamanan pangannya. Untuk bisnis usaha online jelas ini bisa meningkatkan kekreatifan anak muda yang mulai terjun ke dunia bisnis, karena sebagai pemula mereka mendadak diminta buka toko dan membayari pegawai, uang darimana?” tutur Harjanto.
Selain itu pakar Cyber Law yang sekaligus sebagai dosen dan praktisi hukum Unika, Dr. Antonius Maria Laot Kian, SS, MHum menilai bahwa “Kalau dilihat dari sisi gastrosophy atau filsafat makanan maka ada 3 hal harus ditinjau yaitu apa yang kita makan, bagaimana cara kita makan dan dengan siapa kita makan. Ke-3 hal itu menentukan ke arah mana pola pikir kita atau ideologi seperti apa yang kita bawa. Lalu apabila kita tarik ke kondisi sekarang bahwa makanan yang waktu dulu susah payah dicari atau digali tapi sekarang sudah bergeser ke soal efektifitas dan efisiensi maka apabila kita menginginkan suatu makanan tertentu, kita bisa lihat melalui gambar 2 demensi atau foto atau iklan, yang sebenarnya belum tentu mencerminkan hal yang sama seperti yang kita pikirkan pada saat melihat dalam foto atau iklan tersebut. Yang paling penting justru Higienitasnya terjamin atau tidak, oleh karena itu perlu legalitas yang menjamin konsumen yaitu UU no.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, kemudian UU No. 7 tahun 2014 tentang Perdagangan yaitu kewajiban pelaku usaha untuk menyampaikan informasi yang jelas, benar, lengkap dan jujur. Serta UU no. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen” jelas Anton.
“Lalu apabila terjadi kerugian atas makanan atau produk yang beresiko, apa yang harus dilakukan yaitu melaporkan ke BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) yang dibentuk berdasarkan UU Perlindungan Konsumen,” tambah Anton.
Selanjutnya Dr. Ridwan Sanjaya sebagai pakar IT Unika Soegijapranata, juga menjelaskan, “Food yang diorder secara online itu kalau dari sisi teknologinya tentu saja orang ingin hanya dengan melihat secara 2 dimensi atau multimedia bisa mendapatkan apa yang dipesan atau dibeli. Yang menjadi permasalahan adalah dari sisi penjaminannya siapa yang menjamin. Kalau kita bicara yang non online atau dunia nyata maka banyak makanan dari dunia nyata yang tidak ada yang menjamin. Jadi sebetulnya yang online ini juga representasi dari kondisi yang non online atau dunia nyata tadi. Maka dalam hal online ini teknologi berperan sebagai alat bantu untuk mendukung proses penjaminan produk yang bisa dilakukan melalui laboratorium-laboratorium kecil maupun besar dari komunitas, institusi pendidikan, konsultan dan pemerintah, yang hasilnya kemudian bisa dicantumkan dalam bentuk Quick Response Code (QR Code) untuk memudahkan konsumen untuk crosscheck kualitas higienitas makanan” jelas Dr. Ridwan (R. Jeff)
DKV SCU Bicara Strategi Komunikasi Visual, Tekankan Pendekatan Etika dalam Proses Kreatif
Menggandeng PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE Express), Program Studi