Indonesia adalah negara yang kaya, kemajemukannya, alamnya dan sumber dayanya. Perpaduan ini sudah sepatutnya disyukuri tetapi sisi lain juga menyimpan potensi konflik sosial yang besar. Sejarah sudah membuktikan tidak meratanya distribusi kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat dan kemajemukan budaya, dapat menimbulkan konflik yang terbuka dan berkepanjangan.
Menurut Dosen Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum dan Komunikasi Unika Soegijapranata Dr Marcella Elwina menyatakan, konflik sosial yang terjadi di belahan dunia mana pun termasuk di Indonesia, jarang terjadi karena satu sebab. Pemicu konflik dapat disebabkan murni oleh perbedaan identitas komunal berdasarkan ras, agama, suku, bahasa dan banyak lainnya.
“Tetapi pada umumnya isu tersebut muncul lebih disebabkan karena masalah diskriminasi sumber daya. Pembagian sumber daya ekonomi, sosial dan politik yang tidak merata dalam sebuah kelompok atau masyarakat,” kata Marcella dalam Seminar Nasional: Memahami dan Menangani Konflik Sosial Berbasis Agama dan Etnis di Indonesia di Ruang Theater Gedung Thomas Aquinas Unika Soegijapranata, Senin (28/11).
Isu terkecil sekali pun lanjutnya, dapat dimanfaatkan oleh seseorang atau kelompok tertentu untuk menebar kebencian dan muncul ke permukaan dalam berbagai bentuk termasuk kekerasan. Konflik Muslim dan Kristiani di Ambon beberapa waktu silam, Dayak dan Madura di Sambas dan fenomena terakhir di Jakarta.
“Konflik antar-inter agama dan etnis di Indonesia, umumnya lebih banyak disebabkan oleh kepentingan ekonomi dan politik. Sedangkan di beberapa tempat, konflik antar-inter agama dan etnis dipicu oleh larangan beribadah dan pendirian tempat ibadah. Isu agama dan etnis adalah yang paling sering diangkat dan dilegitimasi sebagai konflik,” tuturnya.
Sejak era otonomi daerah, pemilihan kepala daerah secara langsung melalui Pilkada juga menjadi sumber konflik. Maka pemahaman dan penanganan konflik harus dilakukan secara holistik. Pencegahan konflik bahkan harus dimulai sejak dini dalam keluarga dan di lembaga pendidikan.
Ada tiga tahap penting terkait penanggulangan konflik sosial, tahap pencegahan konflik, tahap penanganan konflik yaitu saat terjadi konfli, dan tahap pemulihan konflik.
Senada Eddy Supriyanto, Kabid Kewaspadaan Nasional Bangkesbangpol Provinsi Jawa Timur, konflik yang pernah ditanganinya disebabkan karena banyak faktor. Konflik Syiah dan Sunni di Sampang Madura misalnya, disebabkan karena beberapa hal diantaranya ajarannya tidak dapat diterima masyarakat sekitar.
“Sampai saat ini persoalan ini belum selesai. Kelompok Syiah ingin pulang ke Sampang karena ini adalah NKRI sehingga tidak ada seorang pun menghalangi orang lain untuk mukim di suatu tempat. Satu sisi kelompok Sunni melakukan segala cara agar yang Syiah ini jangan sampai pulang,” paparnya.
Sampai saat ini kelompok Syiah di Sampang masih mukim di pengungsian. Upaya yang dilakukan adalah melakukan pendekatan terhadap kelompok Sunni, sedangkan dari Kontras Surabaya melakukan pendekatan terhadap kelompok Syiah.
Fatkhul Khoir dari Kontras Surabaya yang juga dihadirkan sebagai narasumber menyatakan, tidak banyak modal untuk melakukan inisiasi rekonsiliasi. Menurutnya di Sampang nyaris tidak ada hal yang bisa menjadi kekuatan mendorong proses rekonsiliasi.
“Pendekatan dengan kyai-kyai kampung mengalami kegagalan karena faktor pilkada pada 2012 lalu. Kendala lainnya karena adanya jaringan antar pesantren, antar guru diantara para elit kyai pesantren yang selama ini mereproduksi terus menerus isu konflik. Ada pula yang secara intens memproduksi dan melakukan kampanye anti Islam liberal, Anti Syiah dan anti Wahabi,” tambahnya.
Selaras Benyamin Efraim, Kepala Dayakologi Institute menyatakan, konflik yang terjadi di Kalimantan Barat dilatarbelakangi kepentingan politik dan ekonomi. Pihaknya berinisiatif melakukan kampanye perdamaian melalui pelatihan fasilitator dan kader serta pendidikan formal. ( http://berita.suaramerdeka.com )
Serah Terima Jabatan Ormawa FHK SCU
Fakultas Hukum dan Komunikasi (FHK) Soegijapranata Catholic University (SCU) melaksanakan Serah