”Konsep gerakan perempuan harus diubah,” ungkap aktivis perempuan, Prof Dr Agnes Widanti, menanggapi kemerebakan aneka persoalan yang membelit para perempuan, belum lama ini, di kampus Unika Soegijapranata. Publik tahu dalam waktu yang tak terlalu lama para perempuan kalah dalam persaingan perebutan kekuasaan (antara lain Hillary Clinton) dan terbelit dalam persoalan korupsi (antara lain politikus Angelina Sondakh, mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah, dan Bupati Klaten Sri Hartini).
Menurut Ketua Jaringan Peduli Perempuan dan Anak (JPPA) Jawa Tengah itu, perempuan juga manusia biasa. ‘’Sebagai manusia biasa mereka harus hidup dalam amuk kapitalisme yang kebanyakan dikuasai dan dimenangi oleh para lelaki. Kejatuhan para perempuan, karena mereka harus mengikuti aturan main dunia yang kapitalistik.
Mereka harus mengumpulkan kapital dengan cara apa pun. Clinton jatuh karena kalah kapital. Para perempuan Indonesia jatuh karena harus bertindak koruptif dan memiliki ambisi kekuasaan yang tak terbatas. Sebagaimana laki-laki, mereka ingin lebih, lebih, lebih, sampai akhirnya jatuh ke kubangan kenistaan,’’kata dia.
Perempuan, kata Widanti, juga mulai dimanfaatkan dalam dunia terorisme. Mereka diminta menjadi ‘’pengantin’’ dalam peledakan bom. ‘’Ini bisa terjadi karena ideologi patriarkat masih menguasai kita. Perempuan masih dijadikan alat. Perempuan masih belum bisa menentukan dirinya sendiri mau jadi apa.’’ Meskipun demikian, menurut ketua Prodi Magister Hukum Kesehatan ini, ada juga perempuan yang kini berjuang itu lingkungan hidup. ‘’Dalam kasus gerakan antipabrik semen, seluruh tindakan yang dilakukan oleh perempuan lebih afektif. Mereka menjadi perwujudan dari ibu bumi.’’
Gerakan Baru
Bertolak dari fenomena semacam itu, Widanti menganggap gerakan keperempuanan saat ini sangat lemah. ‘’Kita tidak mungkin lagi menggunakan konsep-konsep masa lalu. Dulu kita melawan laki-laki karena percaya dengan bertindak semacam itu telah sekaligus melawan budaya patriarkat. Sekarang, perlawanan semacam itu menjadi sangat kuno.’’ Karena itulah, perlu dicari gerakan baru keperempuanan. ‘’Pada suatu masa kita harus melawan perempuan yang sudah terinternalisasi budaya patriarkat. Namun gerakan itu pun sudah tak cukup.
Kini para perempuan harus melawan dirinya sendiri yang juga sudah terinternalisasi budaya patriarkat. Perempuan harus melampaui dirinya sendiri untuk menciptakan dunia yang lebih baik,’’ tutur penulis buku Hukum Berkeadilan Jender itu. Apakah ini utopis? ”Ya utopis. Namun harus dilalui,” tandas Widanti. (►http://berita.suaramerdeka.com, Suara Merdeka 26 Januari 2017 hal. 21)