“Pendidikan di semua jenjang, termasuk pendidikan dalam keluarga, harus memberikan ruang seluas-luasnya bagi terjadinya srawung antaranak bangsa dari segala kelompok SARA”
”As contagion of sickness makes sickness, contagion of trust can make trust”
– Marianne Moore
DALAM ekologi koeksistensi (coexistence) dimaknai – salah satunya – sebagai ”Hidup berdampingannya dua atau lebih spesies (mahluk hidup) di habitat yang sama di mana satu sama lain tidak saling menyingkirkan” (Begon et al., 2006). Secara lebih sederhana koeksistensi dapat dimaknai sebagai tindakan atau keadaan hidup berdampingan dalam damai (the act or state of coexisting). Hidup berdampingan dengan damai mensyaratkan adanya rasa saling percaya (trust) dari kedua belah pihak.
Yang menarik, kita bisa belajar dari Marianne Moore dalam kutipan di atas bahwa seperti penyakit menular trust juga dapat ditularkan. Meskipun sederhana, ungkapan Moore ini mungkin tidak kalah dari aneka konsep rekonsialiasi yang telah banyak dilontarkan seperti pembauran, kerukunan antarumat, dan aneka ”jargon” sejenis. Trust dapat ditumbuhkembangkan melalui pergaulan, pertemanan dan persahabatan (3-P) antarperorangan.
Itulah srawung! Menumbuhkembangkan trust adalah suatu upaya jangka panjang dan harus berkelanjutan. Dan dua wahana yang paling vital dalam membuka peluang terjadinya srawung adalah pendidikan dan ruang publik (fisik maupun virtual).
Pendidikan di semua jenjang, termasuk pendidikan dalam keluarga, harus memberikan ruang seluas-luasnya bagi terjadinya srawung antaranak bangsa dari segala kelompok SARA. Hal ini tidak berarti menghalangi keberadaan lembaga-lembaga pendidikan berciri khusus (misalnya agama). Pada lembaga-lembaga khusus ini srawung tidak harus berlangsung secara internal, tetapi pengembangan semangat inklusif sangat diharapkan.
Pada setiap anak didik perlu ditanamkan kesadaran akan keberagaman warga sebangsa. Dalam spirit ini, Universitas Tsukuba bahkan telah mengembangkan kajian tingkat lanjut – hingga ke jenjang pendidikan doktor (S-3) – tentang Koeksistensi Manusia (Human Coexistence) .
Menyadari bahwa abad ke-21 adalah era koeksistensi dan simbiosis manusia. Universitas tersebut memiliki Jurusan Koeksistensi Manusia yang bertujuan mengeksplorasi dan mempraktikkan sebuah konsep pendidikan baru – menggantikan konsep pendidikan masyarakat modern yang berbasis pada prinsip meritokrasi (meritocracy) yang terlalu menitikberatkan pada pengembangan keterampilan perorangan dan persaingan dengan sesama.
Sebagai bidang kajian yang baru lahir, pendidikan untuk koeksistensi manusia (PUKM) dikembangkan sebagai pendidikan yang bertujuan mengembangkan koeksistensi, semangat timbal balik, peduli dan hormat (coexistence, reciprocity, care and respect) tanpa diskriminasi atau persaingan dengan pihak lain. Muara dari PUKM adalah kehidupan yang baik (”good life”) untuk semua dengan cara pengembangan sistem pendidikan, konsep sekolah dan metodenya, serta menggunakan dalam praktik.
Ruang Publik
Ruang publik baik yang fisik – mall, pasar, rumah makan, gedung olahraga, taman, kebun binatang – dan arena rekreasi, maupun yang virtual – radio, surat kabar, televisi, internet – harus memberikan peluang seluas-luasnya untuk mendorong terjadinya srawung di antara sesama anak bangsa dengan keberagaman SARA-nya. Pasar adalah ruang publik yang penting untuk mewujudkan srawung. Pasar memberi ruang untuk terjadinya interaksi inklusif.
Pasar Imlek Semawis (PIS), misalnya, meskipun berlangung di lokalitas spesifik Pecinan dan menampilkan pernik-pernik khas ”budaya Tionghoa”, namun karena sifatnya yang terbuka dan inklusif, PIS berpeluang untuk menjadi salah satu motor penggerak lahirnya kohesi dan solidaritas sosial di kota Semarang.
Apalagi tahun ini PIS mengangkat tema ”Obar Abir” yang secara telak memihak pada dan merayakan keberagaman. Mewujudkan dunia pendidikan dan ruang publik yang dapat menumbuhkembangkan trust antaranak bangsa adalah salah satu tantangan terbesar bangsa Indonesia saat ini.
Kegagalan dalam mengatasi tantangan ini hanya akan menjerumuskan bangsa yang ”sempat” bangga akan ke-binekaannya ini menuju sekadar kumpulan suku-suku dan kelompok agama dan aliran yang tidak percaya satu sama lain. Dan jika itu terjadi maka panggung politik Indonesia hanya akan terus-menerus diwarnai pertarungan demi kepentingan kelompok semata – bukan kepentingan bangsa yang berbineka.
— Budi Widianarko, Rektor Unika Soegijapranata Semarang
(►Suara Merdeka 26 Januari 2017, hal 4, http://berita.suaramerdeka.com )