Sejumlah pengamat transportasi menilai rencana PT Angkasa Pura II yang akan membuka kesempatan bagi taksi non stiker termasuk online untuk dapat masuk ke bandara sebaiknya dipikirkan dengan matang.
Apabila rencana tersebut dilaksanakan, maka Kemenhub dan PT Angkasa Pura II agar memberikan perlakuan yang sama terhadap pelaku usaha yang akan masuk bandara dengan yang sudah ada (eksisting).
Pengamat Transportasi Universitas Katolik Soegijapranata Djoko Setijowarno menyarankan rencana itu agar diurungkan saja dan sebaiknya bandara memang khusus untuk taksi konvensional dan bukan taksi online.
Pasalnya, kata dia, apabila taksi online dibiarkan masuk bandara, justru berpotensi membuat kesemrawutan bandara dan merusak tatanan transportasi.
"Sebaiknya untuk taksi resmi. Taksi online akan merusak tatanan transportasi," tegasnya, Rabu (8/2/2017).
Kecuali, lanjut dia, semua armada yang bakal masuk itu diperlakukan yang sama seperti taksi berstiker yang selama ini melayani bandara.
Menurutnya bisa saja menjadi mobil taksi full, terikat dengan aturan bandara, ada kuota, bayar parkir ngetem, standardisasi tahun mesin penggunaan yang tahunnya harus baru, dll.
"Kalau tidak ya sudah biarkan seperti sekarang saja, toh untuk peningkatan layanan penumpang sebentar lagi akan ada kereta api bandara," ujarnya.
Sementara itu, lanjut dia, kalau untuk yang taksi non stiker, hal itu masih bisa dilakukan, yang terpenting perusahaannya terdaftar, sehingga siapa pun taksi yang ke bandara tetap bisa mengangkut penumpang.
"Kalau mau efisien, tidak perlu menggunakan stiker. Seperti di Gambir lebih luwes," ujarnya.
Sementara itu, pengamat transportasi lainnya David Santoso, menyatakan hal senada. Menurutnya masuknya taksi non stiker dan terutama online masuk bandara, bukan masalah, asalkan kedua pemain bisnis itu mendapatkan perlakuan yang sama oleh regulator dan operator di bandara.
"Intinya apakah pemain taksi online dan konvensional mendapatkan perlakuan yang sama. Online siap tidak diperlakukan sama dengan yang sudah ada dibandara saat ini, atau kalau yang satu diberikan kelonggaran, perlakuannya juga harus sama kepada satunya," ujarnya.
Pasalnya, untuk dapat melayani di bandara itu perlu banyak yang terlibat, proses yang tidak mudah dilalui oleh pemain taksi konvensional.
"Bandara kan ingin memastikan layanan taksinya bagus, maka ada sistem kuota sepetti saat ini. Jadi kalau ada pebisnis taksi yang melakukan tindakan tidak baik, akan bisa dicabut kuotanya, karena bandara adalah etelase negara," tegasnya.
Maka, lanjut dia, aturan perlakuan sama dari regulator dan operator bandara harus sangat jelas di awal. Mengingat, apabila diperlakukan sama, maka biaya operasional pemain jasa ini bisa juga sama.
"Seperti kita mau masuk Istana Negara, pasti disana ada aturan, nah tamu yang mau masuk ini tetap harus tunduk dengan aturan yang sudah berlaku itu. Siap tidak?," ujarnya.
Selain itu, kalau online masuk, dan apabila semua turut melayani bandara, tiba-tiba bisa macet jalanannya.
"Padahal bandara ini etalase dunia, area besar, dan juga penumpangnya banyak, jangan sampai ternoda," ujarnya.
Sementara itu, apabila pertimbangannya melakukan antisipasi lonjakan penumpang, hal itu bisa dicover oleh perusahaan taksi yang selama ini dengan penambahan kuota. (►http://industri.bisnis.com)