Film ‘The Look of Silence’ atau ‘Senyap’ yang diputar di Ruang Teater Gedung Thomas Aquinas Universitas Katolik Soegijapranata (Unika) Semarang, Jumat (12/11) siang ini berlangsung lancar.
Film ‘Senyap’ merupakan film dokumenter kedua karya sutradara Amerika Serikat ,Joshua Oppenheimer, dengan tema sentral pembantaian massal 1965 setelah film ‘The Act of Killing’ atau ‘Jagal’. Jika film ‘Jagal’ menyoroti sisi pelaku pembantaian, maka film kedua ini lebih menyoroti sisi penyintas dan keluarga korban.
“Film ini telah membuka wawasan sejumlah orang yang lahir tahun 1980-an dan 1990-an tentang tragedi 1965,” tutur Dony Danardono salah satu dosen Unika.
Rehabilitasi dan Rekonsiliasi
Pasca pemutaran film ini, diadakan diskusi. Tokoh utama film ini, Adi Rukun, juga dihadirkan sebagai pembicara kunci. “Selain karena sejarah telah dibengkokkak, stigma terhadap keluarga orang yang dituduh komunis itu sangat begitu buruk. Bahkan, anak saya yang masih SD pun menjadi korban. Nah, dengan film ini saya ingin banyak orang tahu apa yang sebenarnya terjadi,” tutur bapak satu anak yang berprofesi sebagai tukang optik keliling ini.
Mencoba mengafirmasi pernyataan Adi Rukun, Dr. Budiawan kurang lebih juga mengatakan hal yang sama. “Pemberian stigma terhadap orang-orang PKI dan keluarganya masih diputar ulang, bahkan sampai saat ini. Namun, bedanya, saat ini orang yang diberi stigma bisa melawan begitu masa lalunya disentuh,” ungkap dosen ilmu sejarah di Universitas Gajah Mada ini.
Selain itu, Budiawan juga menjelaskan bahwa pemberian stigma kepada orang PKI dan keluarganya terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif. Indikasinya adalah terjadinya pembunuhan di berbagai daerah dengan jumlah korban yang besar. Pelakunya bukan hanya dari kalangan militer, tetapi juga sipil.
“Yang menarik dari kejadian ini adalah para algojo menceritakan bagaimana mereka membunuh bukan hanya menuturkan secara runtut, tetapi juga dengan bangga,” komentar Budiawan setelah menonton film ini.
Sedangkan yang menjadi moderator dalam diskusi ini adalah Gunawan Budi Susanto. Ia merupakan seorang aktivitis yang ayahnya dibunuh pada tahun 1965 karena dituduh komunis. “Ketika tahun 1965, Bengawan Solo penuh dengan mayat yang terhanyut. Ada yang tanpa kepala, tanpa tangan, tanpa kaki, bahkan hanya kepala saja. Dulu saya sering berdiri di tepi Bengawan Solo, menantikan siapa tahu saya bertemu wajah ayahnya,” kenang pria asal Cepu ini.
Acara ini adalah kerjasama antara KPS (Komunitas Pegiat Sejarah) Semarang, AJI Kota Semarang, eLSA, KOTA SMG, K*S, THC (The Heritage Coffee), dan RUANG-RABU PMLP Unika Soegijapranata. (teo)
DKV SCU Bicara Strategi Komunikasi Visual, Tekankan Pendekatan Etika dalam Proses Kreatif
Menggandeng PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE Express), Program Studi