Kasus The Jakarta Post
SEMARANG – Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Hukum dan Komunikasi Unika Soegijapranata Algooth Putranto melihat kinerja polisi dalam menangani kasus pers adalah akibat ketidakpedulian semua pihak dalam memperjuangkan kebebasan pers. ’’Saya catat dalam dua kasus di tahun ini yaitu Obor Rakyat dan Jakarta Post, polisi sebagai aparat yang berhubungan langsung dengan masyarakat sipil menetapkan dasar hukum dua kasus pemberitaan seperti orang bingung,’’ujarnya, Senin (15/12).
Kebingungan tersebut tidak bisa dihindari karena setelah UU Pers yang bersifat lex specialis diteken pada 1999 sampai sekarang belum ada Peraturan Pemerintah yang menjadi petunjuk pelaksanaan UU Pers sehingga sengketa pemberitaan selalu menimbulkan debat kusir. ’’Kerap kali dengan alasan praktis polisi dalam penyelesaian sengketa pemberitaan selalu berdasarkan hukum positif yang ada yaitu KUHPdan menomorduakan adanya UU Pers yang diteken Presiden Gus Dur untuk melindungi kerja jurnalistik,’’ katanya.
Dua tahun lalu institusi memiliki memorandum of understanding (MoU) yang ditandatangani Kapolri dan Dewan Pers dengan disaksikan Presiden Susilo Bambang Yudhono (SBY) terkait laporan pidana produk jurnalistik pada acara Hari Pers Nasional di Jambi. MoU tersebut jelas menyebutkan bila ada dugaan terjadi tindak pidana yang berkaitan dengan pemberitaan pers, maka penyelesainnya pendahulukan UU Pers sebelum menerapkan peraturan perundang-undangan lain.
Kemudian terdapat pasal yang menyebutkan bila Polri menerima laporan dan atau pengaduan masyarakat yang berkaitan dengan pemberitaan pers, dalam proses penyelidikan dan penyidikan berkonsultasi dengan Dewan Pers.
Kemerdekaan Pers Tidak heran dalam kasus Obor Rakyat yang oleh Dewan Pers disebut sebagai bukan produk pers, polisi justru menjerat dengan UU Pers yang kemudian karena diprotes lalu dijanjikan
jerat lain. Sementara dalam kasus karikatur The Jakarta Post yang secara jelas adalah produk pers justru jeratan yang langsung digunakan adalah pasal pidana. Menurut dia, sikap polisi yang kebingungan dalam sengketa pemberitaan mungkin terlihat konyol namun jika ditelaah lebih jauh dalam hukum positif status MoU pada dasarnya merupakan perjanjian pendahuluan yang mengatur dan memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mengadakan studi kelayakan terlebih dahulu sebelum membuat perjanjian yang lebih terperinci dan mengikat para pihak pada nantinya.
’’Hukum perdata jelas memasukkan MoU itu adalah pendahuluan perikatan, isi MoU hanyamemuat hal-hal yang paling penting, bersifat sementara, tidak ada kewajiban yang memaksa untuk dibuatnya kontrak atau perjanjian terperinci. Ini yang kita sepertinya terlena berpikir adanya MoU itu sudah menjadi dasar kuat,’’ ujar Algooth lagi.
Payahnya, lanjutnya, sampai sekarang Dewan Pers yang dibiayai pemerintah dari pos Kominfo tidak pernah secara jelas memiliki rekam kinerja dalam menindaklanjuti MoU tersebut. Pada sisi lain DPR dan pemerintah juga segan bertanya pada Dewan Pers.
’’Asosiasi jurnalis seperti PWI dan AJI hingga perguruan tinggi termasuk saya pun selalu lupa menagih tindak lanjut MoU tersebut. Kasus Jakarta Post dan Obor Rakyat adalah hasil ketidakpedulian kita semua memperjuangkan kemerdekaan pers,’’ tandasnya. (H84-90)
DKV SCU Bicara Strategi Komunikasi Visual, Tekankan Pendekatan Etika dalam Proses Kreatif
Menggandeng PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE Express), Program Studi