- Oleh Ridwan Sanjaya
Pilihan bidang bisnis seperti itu seringkali menimbulkan keraguan bagi banyak orangtua, terutama jika bukan bidang yang umum ditekuni oleh generasi sebelumnya.
IZINKAN saya mengawali tulisan ini dengan sepotong cerita tentang mahasiswa yang saya bimbing tugas akhirnya. Dalam salah satu pertemuan, ia menyampaikan aplikasi game yang dikembangkan untuk penelitian skripsi masuk Top Paid Games atau game berbayar yang paling disukai di semua kategori dalam Google Play.
Bahkan, untuk kategori game simulasi berbayar, produknya bertahan menempati posisi pertama. Posisi-posisi tadi menjadi sangat penting bagi mahasiswa saya, karena merupakan wujud pencapaian dari penerapan teori-teori dalam skripsinya.
Kurang dari enam bulan, pendapatannya dari satu game tersebut telah mengembalikan semua modalnya dari biaya listrik, sewa kantor, sampai promosi, bahkan termasuk laptop yang digunakan untuk mengembangkan. Beberapa pekan kemudian, sebelum skripsinya selesai, mahasiswa itu kembali melapor sudah ada investor yang tertarik menanamkan modalnya untuk mengembangkan bisnis rintisannya (start-up) begitu kuliahnya selesai. Investor tersebut bersedia menanggung biaya-biaya yang keluar, mulai izin pendirian perusahaan, sewa kantor, sampai gaji pegawai.
Pilihan bidang bisnis seperti itu seringkali menimbulkan keraguan bagi banyak orangtua, terutama jika bukan bidang yang umum ditekuni oleh generasi sebelumnya. Namun, penetrasi tinggi internet di Indonesia yang mencapai 50,4% telah mendorong banyak anak muda memulai usahanya dengan memanfaatkan teknologi sejak masih kuliah. Kerap melalui media internet juga, mahasiswa bisa mendapatkan kesempatan dan wawasan mengenai pengelolaan usahanya melalui mentoring dan pembinaan yang intensif dari pakarpakar bisnis di bidangnya. Apalagi saat ini banyak BUMN yang berlomba-lomba memberikan dukungan kepada kewirausahaan dalam bentuk kemudahan pendanaan serta pembinaan.
Dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025, kewirausahaan dan ekonomi kreatif merupakan salah satu dari 10 sektor utama. Pada 2013, sektor itu berkontribusi 7,05% pada Produk Domestik Bruto(PDB) nasional dan diproyeksikan meningkat sampai 12% pada 2019. Hal itu menunjukkan, berbekal kreativitas yang tidak terbatas sebagaimana halnya sumber daya alam, produktivitas dari sektor tersebut dapat diandalkan dalam menyumbang PDB nasional.
Berdasarkan data lembaga riset CHGR yang dikutip oleh The Jakarta Post, ada lebih dari 2.000 start-up lokal di Indonesia pada 2016. Laporan Google dan Temasek menyebutkan jumlah itu yang tertinggi di antara negara-negara Asia Tenggara.
Dalam empat tahun, CHGR memprediksi jumlahnya bisa meningkat 6,5 kali lipat atau 13.000 start-uppada 2020. Bisnis rintisan itu tak hanya dikembangkan oleh orang-orang berlatar belakang teknologi informasi, tetapi juga bidang-bidang lain. Sebab, umumnya generasi Yatau milenial merupakan digital natives; penduduk asli dalam dunia digital.
Tatanan baru dalam masyarakat digital saat ini, terutama pada era disruptive innovation membuka peluang berbagai model bisnis baru dan mulai mengikis orientasi lulusan perguruan tinggi dari semula ke arah pekerja menjadi wirausaha berdasarkan minat yang ditekuni.
Produk-produk start-up tidak hanya terbatas pada aplikasi komputer atau game, tetapi juga merambah sampai jasa keuangan, konsultan hukum, analis kesehatan, penasihat gizi, kursus, perencana keuangan, akuntansi, perpajakan, dan masih banyak lagi.
Berbagai start-up lokal, antara lain Tokopedia, Bukalapak, Traveloka, Gojek, Kaskus, IDNtimes, Scoop, Eateaver, dan sejenisnya telah menjadi contoh dari anak muda yang sukses membuka bisnis rintisan, dan tidak kalah keren daripada bekerja di perusahaan besar atau pemerintah.
Berbekal pengetahuan dari kampus, jejaring selama kuliah, dan wawasan dalam menyelesaikan masalah, sangat terbuka kemungkinan banyak anak muda membuka bisnis rintisan yang sesuai dengan minatnya. Bahkan tidak mustahil, kita akan bertemu banyak anak muda yang lulus dan menjadi orang berpengaruh bagi masyarakat Indonesia dalam wirausaha. (17)
— Prof Dr Ridwan Sanjaya, Rektor Unika Soegijapranata dan Guru Besar Sistem Informasi
(►http://www.suaramerdeka.com, Suara Merdeka 9 September 2017)