► Perjuangan Agustina Sulastri Lima Tahun Meraih Gelar Doktor dari RUN Belanda
,,DIA sangat ambisius, well organized, terbuka pada pengalaman dan tidak ‘wanita banget’,” itulah pidato yang disampaikan Guru Besar Radbout University Nijmegen (RUN), Belanda, Prof DT JM AM Janssens, dalam pengukuhan gelar doktor bagi Agustina Sulastri beberapa waktu lalu.
Mendengar pidato tersebut, Lastri– -begitu dia akrab disapa–tersenyum menahan haru. Ia resmi menyandang gelar doktor setelah menempuh S3 di RUN sejak 2009 hingga 2014. Dosen Fakultas Psikologi Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang ini mengakui, semua itu bisa diraih antara lain karena is memang memiliki sifat seperti apa yang diungkapkan Prof Janssens.
Yang dimaksud ‘tidak wanita banget’ karena Lastri sama sekali tidak memiliki sifat neurotik atau pencemas. Sementara, di dunia psikologi, sifat ini sangat identik dertgan kaum hawa.
Pada tahun 2007, waktu itu usia Lastri baru di awal 30-an, datang tawaran beasiswa S3 ke Fakultas Psikologi Unika. Tawaran yang terdengar menarik namun tidak demikian dalam praktiknya. Penerima beasiswa harus berangkat ke Belanda, yang artinya jauh dari keluarga. Belum lagi persyaratan lain, termasuk kemampuan berbahasa Inggris.
Tapi, Lastri yang tidak neurotik tidak mau melihat hal itu sebagai penghalang. Secara tegas, ia menyatakan siap dan setelahnya semua jalan seolah terbuka. Pada 2009, Lastri pun berangkat ke Belanda memulai kuliah S3-nya. Setahun berikutnya, ia sudah melakukan penelitian untuk disertasi berjudul “Predicting Success of Indonesian Graduates: Determinants of Academic Performance and Getting a Job”.
Mengerjakan disertasi diakui Lastri merupakan masa yang sangat dinikmati. Ia mengambil sample 250 mahasiswa dari tujuh universitas di Jateng. Yang diteliti, bagaimana kepribadian seseorang berpengaruh pada hasil akademik selanjutnya korelasi terhadap pekerjaan.
Setidaknya, ada dua temuan yang didapat Lastri dari penelitian itu. Pertama, orang yang memiliki sifat antara lain tekun, fokus, well organized, dan ambisius akan mendapatkan IPK tinggi. Dampaknya, probabilitas diterima bekerja sesuai bidang yang dimiliki lebih besar.
Menurutnya, ini adalah kabar baik bagi perguruan tinggi karena jika berhasil mencetak mahasiswa yang menguasai materi perkuliahan secara baik, ditunjukkan melalui IPK yang diperoleh setidaknya di atas 3,00, dunia kerja akan menyambut positif.
Namun, bukan berarti mahasiswa yang ber-IPK di bawah 3,00 harus berkecil hati. Didukung sikap yang terbuka pada pengalaman, dunia kerja tetap siap menerima meski probabilitas bekerja di bidang sesuai latar belakang akademik lebih rendah.
Hasil penelitian tersebut sudah dipublikasikan dalam jurnal internasional. “Sebuah penelitian akan useless jika tidak terpublikasi, disiarkan ke dunia. Dalam hal ini, penguasaan Bahasa Inggris menjadi wajib,” jelas Lastri.
Saat flash back, sebenarnya, sifat ambisius sudah dimiliki ibu satu putra ini sejak masa kanak-kanak. Ia sangat menyukai belajar Bahasa Inggris dan mulai ikut les di usia sepuluh tahun. Untuk bisa les, dia yang waktu itu masih tinggal di sebuah kecamatan di Lampung harus pergi jauh hingga ke Tanjung Karang. Lastri kecil pun berani berangkat les sendiri naik angkot menempuh perjalanan selama setengah jam. Ia tidak mau minta antar jemput orangtua yang sibuk sebagai wiraswasta.
Saat duduk di bangku SMP, keluarga mengadakan acara liburan ke Bali dan kebetulan waktunya bertepatan dengan ujian Les Bahasa Inggris. “Dan saya tetap memilih mengikuti ujian sementara keluarga besar berangkat ke Bali. Saya tidak sedih karena itulah passion saya. Jika dipikir, saat itu saya tengah membuka jalan untuk karier ke depan,” imbuh Lastri.
Namun, dari sekian pengalaman dalam hidup, peristiwa 16 Desember 2014 menjadi paling berkesan dalam hidup Lastri. Saat itu, di sebuah aula, ia harus menghadapi tujuh profesor yang bertanya ngalor-ngidul tentang isi disertasi. Sidang digelar secara terbuka, artinya Lastri juga harus menata hati karena akan ada banyak orang yang melihat bagaimana ia dicecar pertanyaan dan berjuang meyakinkan penguji. Selain mahasiswa S3 RUN, juga hadir pelaksana tugas Dubes RI, dan direktur Van Deventer–Maas Stichting (VDMS) sebuah LSM Belanda di mana Lastri menjadi konsultan.
Layaknya ujian, ada pertanyaan yang mudah dijawab tapi ada pula yang terasa sangat sulit. Semua menjadi happy ending saat Lastri akhirnya dinyatakan lulus. Perjalanan sangat panjang yang berakhir memuaskan. Gelar diraih dan ia bisa kembali ke Indonesia dengan kepala tegak.
Kini, hari-hari Lastri disibukkan memberi kuliah di Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata Semarang. Ia juga menjabat Kepala Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan kampus tersebut, yang memiliki tugas utama melakukan kajian pengembangan filosofi pendidikan. Bersama tim, Lastri meresepkan metode pembelajaran pendidikan tinggi, termasuk mata kuliah universiteir dan meramu agar kebijakan dari pusat bisa diterapkan di kampus.
Ia juga mewakili kampus di berbagai kegiatan internasional, seperti yang akan segera dijelang , yakni Forum Psikologi Dunia di Praha, Cekoslovakia: Meski gelar doktor sudah digenggam, Lastri akan terus belajar karena menurutnya, belajar sama dengan piknik. Dari situ, dia bisa melihat dunia baru dan menyelami keindahan. (muslimah)
DKV SCU Bicara Strategi Komunikasi Visual, Tekankan Pendekatan Etika dalam Proses Kreatif
Menggandeng PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE Express), Program Studi