Bahaya rokok yang menyebabkannya terus dibatasi mestinya juga dilakukan terhadap kendaraan bermotor pemicu gas buang yang sama berbahayanya.
Pembatasan terhadap rokok seharusnya diimbangi pula dengan pembatasan kendaraan bermotor. Langkah itu perlu dilakukan karena keduanya sama-sama memicu timbulnya gas buang yang memiliki risiko ancaman terhadap kesehatan.
Pemikiran atas bahasa rokok dan kendaraan itu dikemukakan budayawan dari Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang, Donny Danardono, saat menjadi pembicara FGD Membongkar Akar Pertembakauan: Meluruskan Tudingan Antitembakau, Faktor Ekonomi dan Warisan Tradisi Bangsa di Kota Semarang, Jawa Tengah, Rabu (8/11/2017). “Tidak ada konsistensi dari pemerintah. Rokok dibatasi, tetapi kendaraan bermotor tidak ada pembatasan,” kata Donny Danardono.
Menurut Donny Danardono, asap yang keluar dari knalpot kendaraan bermotor sama berbahayanya dengan asap rokok. Namun, lanjut dia, tidak pernah ada pembatasan kendaraan bermotor. Sejak tahun 2000-an, kata dia, muncul berbagai peraturan berkaitan dengan pembatasan rokok, termasuk adanya Peraturan Daerah Kota Semarang yang mengatur kawasan tanpa rokok.
Donny Danardono berpendapat bahwa keberadaan aturan-aturan tentang pembatasan area merokok menghilangkan kenikmatan merokok sebagai bagian dari kegiatan sosial. “Kalau diibaratkan sekarang ini orang merokok itu seperti orang buang hajat,” katanya.
Donny Danardono menjelaskan bahwa orang yang akan merokok di kawasan larangan merokok harus menuju ke tempat khusus. Berkaitan dengan larangan merokok karena alasan kesahatan, ia mengharapkan ada riset khusus tentang bahaya rokok.
“Perlu riset khusus apakah zat adiktif yang ada di rokok itu menyebabkan penyakit,” katanya. Selama ini, menurut dia, riset dilakukan terhadap pasien yang memang sudah menderita sakit.
Sementara itu, praktisi kesehatan Tony Priliono mendukung penelitian lebih lanjut mengenai penyakit akibat rokok. Pasalnya, menurut dia, nikotin sebagau zat adiktif yang terkandung di tembakau bukanlah penyebab terjadinya penyakit.
Tony Priliono menuturkan dari sejumlah penelitian terdapat perbedaan kualitas tanaman tembakau sebelum tahun 1970-an dibandingkan dengan yang sesudahnya. Kandungan merkuri pada tembakau setelah tahun 1970-an cukup tinggi, kata dia, salah satunya akibat polusi udara. “Memang sudah ada upaya untuk mengembalikan kualitas daun tembakau untuk mengurangi kadar merkurinya,” kata Tony Priliono.