Kala seda Panembahan syargi
Inga Kajenar pan anunggal warsa
Purwa sata sawiyose
Milaning wong ngaudud
PENGGALAN Babad Ing Sangkala di atas jika diterjemahkan berarti “Waktu mendiang Panembahan meninggal di Gedung Kuning adalah bersamaan tahunnya dengan mulai munculnya tembakau. Setelah itu mulailah orang merokok”. Babad ini menjadi dokumen penting yang menandai periode waktu masuknya tembakau dan awal mula tradisi merokok di tanah Jawa, khususnya di Mataram.
Dalam Hikayat Kretek (KPG, 2016), masuknya tembakau dan tradisi merokok diperingati dengan candra sangkala Gni Mati Tumibeng Siti yang berarti tahun 1523 Saka atau tahun 1601-1602 Masehi. Panembahan Senopati sendiri meninggal pada tahun 1600 sebelum akhirnya digantikan Sulatan Agung.
“Pada tahun 1600-an VOC memperkenalkan tembakau di Pulau Jawa dan sekitarnya. Sementara Portugis memperkenalkannya di pulau-pulau Indonesia sebelah Timur, seperti di Flores,” kata Donny Danardono, pengajar filsafat di Program Studi Ilmu Hukum dan Program Magister Lingkungan dan Perkotaan (PMLP) Unika Soegijapranata dalam sebuah diskusi di Semarang beberapa waktu lalu.
Donny mengatakan, sebelum tradisi merokok, masyarakat Jawa lebih dulu mengenal tradisi mengunyah daun sirih, kapur (enjet) dan buah pinang (jambe). Tradisi ini biasanya digunakan untuk menjamu tamu. Sultan Agung pernah menjamu utusan VOC dengan sirih dan pinang. Catatan utusan VOC inilah yang di kemudian hari menjadi bukti tradisi ini. Di Banyumas, kebiasaan ini dikenal dengan nama nginang.
Setelah masuknya tembakau, kaum pria lebih banyak merokok. Nginang kemudian hanya dilakukan kaum hawa. Bagi kaum perempuan, tembakau dijadikan bahan tambahan untuk nginang. Tembakau digosok-gosokkan ke gigi setelah mengunyah daun sirih beserta enjet dan jambe. Di sinilah awal mula persinggungan antara perempuan dan tembakau. “Hadirnya tembakau pelan-pelan mengurangi kebiasaan mengunyah sirih dan kapur. Mereka mulai menyulut tembakau dan mengisapnya,” kata pria berkacamata ini.
Namun, merokok bukan hanya menjadi kebiasaan milik kaum pria. Donny mengatakan, perempuan perokok sudah ada dalam kisah Pranacitra berabad-abad yang lalu. Dikisahkan, pada paruh pertama abad XVII Sultan Agung berhasil memadamkan pemberontakan Adipati Pati. Dalam penalukan itu, Sulatan Agung menyita banyak harta rampasan perang, satu di antaranya putri Adipati Pati, Rara Mendut.
Rara Mendut digambarkan sebagai sosok putri berparas cantik jelita. Sultan kemudian menghadiahkan Rara Mendut kepada Tumenggung Wiraguna sebagai imbalan atas jasa-jasanya menaklukan musuh. Namun, Rara Mendut menonak ketika hendak dipersunting Tumenggung Wiraguna. Alasannya, Wiraguna sudah berusia lanjut. Ia dikisahkan berambut putih, bergigi ompong namun masih gagah perkasa.
Penolakan ini membuat Wiraguna murka. Ia lalu bertitah, Rara Mendut akan dibebaskan setelah membayar pajak sebesar tiga real setiap hari dalam jangka waktu yang tak ditentukan. Dari pada menikahi pria tua itu, Rara Mendut lebih memilih menerima tantangan ini.
Untuk memenuhi syarat pembebasannya, Rara Mendut berjualan rokok klobot. Rokok ini ia linting sendiri. Yang tak biasa, puntung rokok bekas Rara Mendut dijual lebih mahal dibanding yang masih utuh. Kepada para lelaki yang memadati warungnya, ia menjelaskan puntung rokok bekasnya sudah berlumur air ludah dan terdapat bekas bibir dari seorang putri yang cantik memesona.
Begitu mendengar penjelasan ini, para lelaki justru semakin antusias memborong puntung rokok bekas sang putri meskipun harus membayar lebih mahal. Kisah ini sekaligus menjadi awal mula rokok menjadi barang dagangan. Sebab, sebelumnya rokok hanya tradisi yang menyelingi obrolan ketika berkumpul. “Begitulah bagaimana tembakau dan rokok telah melatarbelakangi sejumlah karya sastra di Indonesia ini,” ujar pria yang mebiarkan rambutnya panjang terurai ini.
Kisah perempuan dan tembakau tak berhenti sampai di situ. Di era milenium, tembakau dan perempuan terus mengukir sejarahnya sendiri. Perempuan menjadi bagian penting dari industri rokok yang bernilai triliunan rupiah. Di berbagai pabrik rokok, jumlah pekerja perempuan mendominasi. “Sebanyak 90 persen pekerja di pabrik rokok adalah perempuan,” kata Suseno, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI).
Hal ini dibenarkan Warih Sugriyanto, pemilik pabrik rokok kretek tangan di Kecamatan Cipiring, Kabupaten Kendal. Di pabrik ini, ada 697 pekerja yang semuanya perempuan. “Di tahun 2007, jumlahnya bahkan sampai 1825,” kata dia.
Begitu juga dengan pabrik rokok klembak menyan di Gombong. Pabrik yang berdiri tahun 1950 ini hingga saat ini masih beroperasi meskipun hanya menyisakan 40-an pekerja. Semua pelinting rokok di pabrik ini perempuan. Sebagian besar berusia lanjut karena mereka adalah generasi pertama. Hal serupa juga berlaku di pabrik rokok di Purbalingga. Sebagian besar buruh pabrik rokok di Kabupaten Perwira ini adalah perempuan.
Perempuan dan tembakau telah melintas zaman dari berabad-abad lalu. Terlepas dari tragedi ataupun parodi, kehadiran perempuan memberi warna tersendiri dalam sejarah tembakau di tanah Jawa. Perempuan menjadi penanada zaman dalam setiap kisah tentang tembakau. Dan itu akan terus berlangsung hingga tembakau tak menyisakan apapun selain sejarahnya sendiri.