Sebagai wujud kontrol, pengawasan serta pengarusutamaan kebijakan hukum pidana yang berkesesuaian dengan prinsip dan nilai perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia, ELSAM melaksanakan diskusi kelompok terfokus dan seminar dengan tema “Potensi Dampak Amandemen KUHP terhadap Pereduksian Penikmatan Hak Asasi Manusia terhadap Empat (4) Kelompok Rentan”, di Semarang pada tanggal 29-30 November 2017.
Sejak tahun 1964, pemerintah Indonesia berusaha untuk memproduksi hukum pidana sendiri dengan melakukan pembentukan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Sebagai produk hukum pidana yang mengatur pembatasan hak dan kewajiban seluruh penduduk Indonesia, dibutuhkan ruang kontrol dan pengawasan baik dari kita aktivis HAM, civitas akademika, dan masyarakat sipil secara luas. Kontrol tersebut dilakukan guna mendapatkan legitimasi yang sah dari rakyat dan selalu sesuai dengan koridor perlindungan hak asasi manusia dan hukum yang diatur dalam Konstitusi UUD 1945 serta tidak berbenturan dengan pengaturan pemidanaan yang tersebar di berbagai instrumen hukum sektoral.
Sebagai bagian dari kontrol tersebut, ELSAM berkerjasama dengan Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang dan LBH Semarang melaksanakan diskusi kelompok terfokus dan seminar dengan tema “Potensi Dampak Amandemen KUHP terhadap Pereduksian Penikmatan Hak Asasi Manusia terhadap 4 (Empat) Kelompok Rentan” pada tanggal 29-30 November 2017 di Semarang. Dalam kegiatan tersebut, dihadiri beberapa narsumber dari akademisi Fakultas Hukum UNDIP yaitu Nyoman Serikat Putra Jayad dan Eko Soponyono, akademisi Fakultas Hukum Universitas Katolik Soegijapranata Benny Danang Setianto, akademisi Fakultas Hukum Universitas Wahid Hasyim, Mahmutarom, serta Direktur Eksekutif LBH Semarang, Zainal Arifin. Tidak hanya itu, dalam kegiatan tersebut juga dihadiri berbagai akademisi dari fakultas hukum yang ada di Semarang, serta aktivis HAM dan masyarakat sipil.
Dalam kegiatan seminar tersebut terdapat dua pendapat yang cukup kontradiktif. Beberapa narasumber membahas mengenai banyaknya pengaturan pasal-pasal dalam RKUHP yang belum berkesesuaian dengan prinsip dan nilai hak asasi manusia Termasuk potensial berbenturan dengan ketentuan-ketentuan pidana yang diatur di peraturan perundang-undangan sektoral. Namun ada pula narasumber yang berpendapat bahwa RKUHP saat ini sudah berusaha mengatur norma-norma hukum pidana yang sesuai dengan prinsip HAM.
“Beberapa isu yang diangkat dalam seminar ini sudah diatur dalam RKUHP, meski belum sepenuhnya memberikan perlindungan HAM bagi empat kelompok rentan.” Jelas Ketua Tim Perumus Naskah Akademik RUU KUHP, Nyoman Serikat. Salah satunya adalah mengenai Pasal 484 RKUHP yang mengatur mengenai perluasan makna zina. Menurut tim perumus, hal ini dilakukan karena ada kebutuhan dan kepentingan hukum yang tidak dapat dijangkau KUHP kolonial. Hal ini pula berkatan dengan rasa keagamaan dan ketentraman hidup beragama sebagai kepentingan hukum sangat sensitif. Sehingga harus memperoleh tempat lebih terhormat dari pada sekedar bagian dari ketertiban umum, maka harus diatur dalam bab tersendiri yaitu BAB VII.
Kesulitan menerapkan prinsip HAM universal ke dalam perspektif hukum pidana, menurut Mahmutarom dari Universitas Wahid Hasyim, disebabkan karena tiap negara memiliki karakteristik dan corak budaya yang berbeda.“Oleh karena itu teori universalitas dibantah dengan teori partikuleristik.” Tambah Mahmutarom.
Berbeda dengan pemateri sebelumnya, akademisi Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Benny Danang Setianto, menjelaskan bahwa prinsip hak asasi manusia yang terdapat di Deklarasi Universial Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan beberapa Kovenan instrument internasional HAM yang sudah diratifikasi Indonesia adalah standar moralitas kemanusiaan yang bersifat universial. “Prinsip HAM pada dasarnya tidak terbatas oleh batas-batas negara. Prinsip ini menjadi panduan hukum diterapkan, Dengan beberapa ketentuan mengenai hak-hak yang dapat dibatasi(derogable rights). Maka tidak ada pilihan bagi Indonesia ketika ingin melakukan pembaharuan hukum pidana dengan kodifikasi, kita juga harus mengintegrasikan prinsip dan nilai-nilai HAM tersebut.” Tegas Benny.
Menurut Benny, untuk pasal-pasal yang potensial kriminalisasi terhadap kelompok rentan, seperti pasal-pasal penistaan agama yang dikenal pasal karet, Indonesia harus membandingkan dengan bandingkan dengan Pasal 18 ICCPR – Freedom from thought, conscience and religion, yang termasuk dalam hak-hak yang tidak bisa dibatasi (non derogable rights). Termasuk pasal-pasal zina, negara harus memperhatikan bagaimana instrumen HAM internasional menjelaskan hubungan intim itu sebagai bagian kehidupan pribadi yang tidak boleh diikutcampur oleh negara (an intimate aspect of private life is at stake).
“Maka sangat penting negara mempelajari penerapan margin of appreciation yang dikenal dalam dunia internasional. Sehingga RKUHP sebagai upaya kodifikasi perlu didukung sebagai “living instrument”, artinya bukan sebuah proses masterpiece yang setelah itu tidak boleh diubah-ubah, tetapi justru disesuaikan dengan standar moralitas baru (baca HAM), tanpa harus mengabaikan prinsip-prinsip hukumnya,” jelas Benny.
(http://elsam.or.id)