- Oleh Andreas Lako
MENJELANG akhir 2017 dan memasuki awal 2018, dalam sejumlah forum diskusi dan wawancara, saya sering ditanya tentang kinerja perekonomian Jateng sepanjang tahun 2017 dan prospek 2018. Misalnya: Apakah kinerja perekonomian Jateng tahun 2017 sesungguhnya bertumbuh atau menurun? Kalau bertumbuh, apakah pertumbuhan itu berdampak positif pada penurunan kemiskinan, pengangguran dan peningkatan kesejahteraan masyarakat? Bagaimana prospeknya pada tahun politik 2018? Apakah akan suram?”
Menjawab pertanyaan tersebut, saya menunjukkan hasil studi terhadap kinerja pembangunan Jateng selama 2002-2017 dan dampaknya terhadap kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat. Berdasarkan hasil studi itu, saya tegas menyatakan bahwa kinerja pembangunan Jateng yang terefleksi dalam nilai Produk Regional Domestik Bruto (PDRB) menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun.
Nilai PDRB atas dasar harga konstan (ADHK) meningkat dari Rp 123 trilun (2002) menjadi Rp 223,1 triliun (2013). Pada 2017, nilai PDRB-ADHK diperkirakan akan mencapai Rp 894 triliun atau meningkat 299 persen dari 2013. Sementara itu, nilai PDRB atas dasar harga berlaku (ADHB) meningkat dari Rp 152 triliun (2002) menjadi Rp 623,5 triliun (2013).
Pada 2017, nilainya diperkirakan akan mencapai Rp 1.190-an triliun atau meningkat sekitar 90 persen dari 2013. Berdasarkan tingkat pertumbuhan, kecuali tahun 2009 yang hanya bertumbuh 4,71 persen akibat tekanan resesi ekonomi global, selama 2010-2017 kinerja ekonomi Jateng selalu bertumbuh di atas 5,2 persen per tahun. Sejak 2014-2017, pertumbuhan ekonomi Jateng bahkan lebih tinggi dibanding nasional. Pada 2017, pertumbuhan ekonomi Jateng diperkirakan di atas 5,3 persen atau lebih tinggi dari 2016 (5,28%).
Mencermati tren positif peningkatan nilai PDRB dan laju pertumbuhan selama 2014-2017, saya menyatakan optimistis kinerja perekonomian Jateng 2018 bakal lebih cerah.
Berdampak Positif
Lalu, bagaimana dampak peningkatan nilai PDRB tersebut terhadap kesejahteraan sosialekonomi masyarakat? Ternyata berdampak positif terhadap sejumlah indikator kinerja sosial-ekonomi. Pertama, meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat yaitu dari Rp 19,21 juta (2010) menjadi Rp 24,95 juta (2013). Pada 2017, pendapatan per kapita meningkat lagi menjadi Rp 34,29 juta atau naik 37,4 persen dari 2013. Kedua, menurunkan jumlah penduduk miskin.
Jumlah penduduk miskin menurun dari 5,217 juta orang (2010) menjadi 4,811 juta orang (2013). Pada Maret 2017, jumlahnya menurun lagi menjadi 4,45 juta orang. Secara persentase, kemiskinan di Jateng menurun dari 16,11 persen (2010) menjadi 14,4 persen (2013), dan kemudian menurun lagi ke 13,01 persen (Maret 2017).
Meskipun besaran persentase tersebut masih lebih tinggi dari target RPJMD 2013-2018 yaitu 10,83%-11.30%, namun penurunan tersebut patut diapresiasi karena faktor pemicupemacu kemiskinan di Jateng sangat kompleks. Berdasarkan rilis BPS (2017), penurunan jumlah penduduk miskin di Jateng pada Maret 2016-Maret 2017 jauh lebih besar dibanding Jabar dan Jatim. Ketiga, menurunkan jumlah pengangguran. Jumlah pengangguran terbuka Jateng pada Agustus 2013 adalah 1,0541 juta orang atau 6,01 persen dari total angkatan kerja. Namun pada Februari 2017, jumlahnya menurun signifikan menjadi 755,5 ribu orang atau turun menjadi 4,15 persen.
Keempat, menurunkan kesenjangan pendapatan antarkelompok masyarakat. Hal ini tercermin dari rasio Gini yang terus menurun sejak tahun 2014. Rasio Gini yang sempat meningkat dari 0,32 (2009) menjadi 0,39 (2013), pada 2015 menurun menjadi 0,382.
Pada 2017, rasio Gini diperkirakan menurun lagi menjadi 0,36. Penurunan tersebut tampaknya dipicu oleh keberhasilan pemerintah dalam pembangunan infrastuktur yang mulai digenjot sejak 2014-2016. Hal ini terlihat dari penurunan kesenjangan antarwilayah (diukur dengan indeks Williamson), yaitu menurun dari 0,64 (2012) menjadi 0,62 (2016).
Selain itu, penurunan tersebut juga dipicu oleh keberhasilan pemerintah dalam mendorong pembangunan ekonomi kerakyaratan berbasis UMKM. Hal ini tercermin dari meningkatnya jumlah UMKM dan nilai aset serta nilai omsetnya (Lako dkk, 2016). Peningkatan tersebut berdampak positif pada kenaikan persentase penguasaan pendapatan pada 40% Kelompok Masyarakat Berpendapatan Menengah dari 34,82 persen (2015) menjadi 37,46 persen (2016).
Sementara pada 20% Kelompok Masyarakat Berpendapatan Tinggi, proporsi penguasaan menurun dari 46,54% (2015) menjadi 44,11% (2016). Kelima, meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM Jateng meningkat dari 66,08 (2010) menjadi 68,31 (2013), dan meningkat lagi menjadi 69,98 (2016). Pada 2017, IPM Jateng diperkirakan 70,54 atau sama dengan IPM nasional.
Meski trennya meningkat, namun peningkatan nilai IPM Jateng relatif kecil. Lambatnya peningkatan IPM tersebut disebabkan mayoritas kabupaten merah (termiskin) memiliki IPM yang rendah. Hal ini hendaknya menjadi isu krusial yang perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak dalam perencanaan pembangunan ke depan. Pertanyaannya, mengapa peningkatan nilai PDRB dan pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir (2014-2017) bisa berdampak positif pada peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi dan penurunan kesenjangan pendapatan antarkelompok masyarakat?
Saya mencermati, ada tiga faktor pendorong utama. Pertama, keberhasilan pemerintahan dalam pembangunan infrastruktur yang masif di hampir semua pelosok wilayah Jateng. Keberhasilan tersebut, selain mempersempit kesenjangan antarwilayah, juga meningkatkan akses dan aktivitas pembangunan serta perekonomian daerah dan antardaerah.
Peningkatan tersebut berdampak positif pada penciptaan nilai tambah ekonomi dan peningkatan pendapatan bagi masyarakat luas. Kedua, keberhasilan pemerintah dalam mendorong programprogram pembangunan ekonomi kerakyatan (khususnya UMKM). Sejak 2014-2017, Pemprov Jateng dan Pemkab/Pemkot terus menerbitkan sejumlah kebijakan untuk mendorong pertumbuhan UMKM baik sisi kuantitas, kapasitas, kapabilitas dan kinerja ekonomi.
Keberhasilan tersebut telah berdampak positif pada peningkatan nilai PDRB, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan pelaku UMKM, penyerapan tenaga kerja, penurunan kemiskinan, penyempitan kesenjangan pendapatan antarkelompok masyarakat, dan lainnya. Ketiga, keberhasilan pemerintah dan sejumlah pihak terkait dalam mengendalikan laju inflasi daerah.
Seperti diketahui, inflasi Jateng yang sempat meningkat dari 2,68% (2011) menjadi 7,99% (2013) dan 8,22% (2014), mulai 2015 dan 2016 turun drastis menjadi 2,73?n 2,36%. Pada 2017, inflasi diperkirakan 3,2%. Besaran laju inflasi Jateng dalam tiga tahun terakhir bahkan jauh lebih rendah dibanding nasional. Keberhasilan tersebut tentu saja berimplikasi positif pada peningkatan kesejahteraan sosialekonomi dan penurunan kesenjangan sosial.
Berdasarkan tren peningkatan nilai PDRB selama 2002-2017 seperti telah diuraikan di atas, maka tidak ada alasan yang kuat bagi para pihak untuk khawatir bahwa prospek perekonomian Jateng pada tahun politik 2018 akan lebih suram dibanding 2017. Mencermati bukti empiris pertumbuhan ekonomi pada tahun politik 2003, 2008, dan 2013 yang cenderung meningkat maka prospek kinerja perekonomian Jateng pada 2018 bakal lebih cerah dan bertumbuh lebih tinggi. Saya meyakini bahwa pilgub dan pilkada di kabupaten/kota pada 2018 tidak akan berdampak negatif pada fondasi dan tatanan perekonomian daerah.
Keyakinan tersebut didasarkan pada pengamatan
penulis bahwa masyarakat Jateng tidak akan memberikan toleransi kepada para politikus ‘’busuk’’ dari partai- partai peserta pilkada untuk ‘’merusak’’ tatanan nilai-nilai kehidupan sosial-ekonomi dan budaya yang sudah terbangun baik dan kuat di Jateng. Selain itu, perekonomian global dan nasional pada 2018 diperkirakan juga akan jauh lebih baik dibanding 2017. Kondisi tersebut tentu akan berdampak positif dan bersinergi meningkatkan kinerja perekonomian Jateng pada 2018.
—Prof Andreas Lako, Guru Besar Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Soegijapranata Semarang
Sumber : Suara Merdeka Halaman Utama, e-paper Suara Merdeka halaman 1, halaman 7