Pada tahun 1914 kota Semarang didatangi oleh seorang arsitek kelahiran Amsterdam, Belanda. Ia bermimpi ingin membantu Indonesia berkembang malampaui “tradisi” menuju “modernitas” melalui hasil karya arsitektural. Pria yang nantinya menikah dengan pribumi dan tutup usia di Cimahi ini bernama lengkap Herman Thomas Karsten.
Karsten datang ke nusantara membawa keyakinan bahwa masyarakat Indonesia kelas menengah dapat diarahkan untuk menjadi pemandu agar Indonesia dapat berpartisipasi dalam modernisasi secara universal tanpa kehilangan cita rasa aslinya.
Beberapa karyanya di Semarang yang saat ini masih bisa dilihat diantaranya Pasar Djohar, Rumah Sakit Elisabeth, sekolah Van Deventer, dan beberapa bagian dari gedung Sobokarti. Ia juga yang merancang kampung Sompok dan Mlaten.
Perbincangan mengenai hal ini muncul Kamis (5/2) yang lalu dalam sebuah seminar yang diselenggarakan oleh Ruang-Rabu PMLP. Seminar yang menghadirkan dua pembicara ini bertajuk “Thomas Karsten, Modernising Java, and Contemporary Discourse on Heritage”.
“Sebagai arsitek muda yang ambisius dan membawa idealisme besar, Karsten datang langsung ke Semarang dari salah satu kota terpenting di Eropa yang menjadi pusat modernitas yakni Berlin,” ungkap Joost Corte yang berasal dari Monash Universiti, Australia.
“Dia terinspirasi dari ucapan seorang arsitek Jerman, Hermann Muthesius, yang mengatakan bahwa Jerman yang baru harus menumbuh-kembangkan suatu budaya baru dan sebuah karya arsitektural yang mencerminkan ‘karakter nasional’-nya,” imbuh peneliti senior ini.
Sedangkan pembicara kedua, Dr. Natsuko Akagawa, menjelaskan mengenai diskursus kontemporer perihal warisan budaya. (teo)
DKV SCU Bicara Strategi Komunikasi Visual, Tekankan Pendekatan Etika dalam Proses Kreatif
Menggandeng PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE Express), Program Studi