Jangan pernah menganggap sepele sebuah seminar. Bukan tidak mungkin tukar pendapat yang mungkin hanya berlangsung setengah hari itu bisa melahirkan gagasan-gagasan besar. Seminar ”Belajar dari Negeri Paling Vertikal di Dunia” yang digelar di Ruang Teater Gedung Thomas Aquinas Unika Soegijapranata, Sabtu (10/2), misalnya memunculkan gagasan tentang betapa penting Indonesia mengembangkan perherbalan.
”Saya kira Indonesia harus menjadi Negeri Herbal. Agar perhatian pemerintah benar-benar 100 persen, perlu dimunculkan menteri herbal,” kata Dr dr Renni Yuniati SPKK, mahasiswi angkatan ke-25 Program Studi Magister Hukum Kesehatan Unika Soegijapranata. Usulan itu muncul saat Renni memaparkan makalah bertajuk ”Penyelenggaraan dan Regulasi Fasilitas Kesehatan di Klinik School of Chinese Medicine Hong Kong”, hasil kuliah kerja lapangan di Hong Kong, beberapa waktu lalu.
Mengapa? Sebab dengan melihat betapa pengobatan tradisional Tiongkok bisa dijual dengan harga mahal, bukan tidak mungkin hal serupa diterapkan di Indonesia. Hal itu bisa dilakukan jika Indonesia memberi lahan dan fasilitas untuk kemajuan herbal. Teguh Hadi Prayitno SH SH MM, salah satu mahasiswa, tidak sepakat pada istilah herbal. Ia lebih memilih nama jamu.
”Yang penting segala yang tampak tradisional itu dikemas dalam bentuk yang modern.” Apakah segala hal sudah dapat dimodernkan? Dalam diskusi yang juga mengusung makalah bertajuk ”Lecturing Prof Jiang Yuanan dari Chinese University of Hong Kong” (dr Antonius Artanto dkk) dan ”Penyelenggaraan Pendidikan pada School of Chinese Medicine” (dr Novran Ardiansyah dkk) itu tampaknya kemodernan belum sepenuhnya menjadi pilihan. Pendiagnosis penyakit, misalnya, belum dilakukan oleh dokter.
Teknik diagnosis masih menggunakan palpasi (merasakan denyut jantung pasien), melihat lidah pasien, mengamati wajah, menyentuh tubuh terutama abdomen, mengamati permukaan telinga, mengamati pembuluh darah, membandingkan kehangatan, menanyakan efek permasalahan, dan pemeriksaan lain tanpa perawat.
Teknik perawatan menggunakan pemijatan, akupunktur, obat herbal, terapi makanan, latihan meditasi, mempraktikkan seni bela diri, dan memperhatikan astrologi. ”Jika saja kita bisa mengembangkan perhebalan dengan baik, dunia akan berpaling kepada kita. Kita lebih komplet,” kata Renni. Problemnya, paling tidak menurut Dr Endang Wahyati, Ketua Prodi, regulasinya harus ditata sedemikian rupa.
”Karena itulah kami mencoba melakukan studi banding ke ngeri yang memang menggunakan pengobatan tradisional sebagai alternatif, bukan pilihan kedua atau ketiga. Hasilnya? Tentu tak semua hal di Hong Kong bisa diterapkan di Indonesia dan sebaliknya.
Namun kami kian yakin dunia pengobatan tradisional di Indonesia punya masa depan.” Hal sama juga diungkapkan oleh Drs Hermawan Pancasiwi MSi dan Dr Y Budi Sarwo SH MH, para pendamping KKL dan diskusi. ”Mengembangkan herbal dan mencari regulasi pengobatan paling ideal harus segera dilakukan,” kata Hermawan. Jadi ditunggu saja pesona kehebatan herbal di dunia pengobatan kita.
►http://www.suaramerdeka.com, Suara Merdeka 14 Februari 2018 hal. 24