Undang undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dinilai sudah tidak relevan lagi dengan kondisi dunia pendidikan di Tanah Air. Oleh sebab itu, para praktisi pendidikan di Jateng mengusulkan adanya revisi atas UU tersebut. Hal itu terungkap dalam seminar Penelitian Empirik RUU Tentang Perubahan Atas Undang undang Nomor 14 Tahun 2005 di ruang seminar kampus tersebut Jl Sidodadi, Semarang, Kamis (4/5). Seminar tersebut merupakan kerja sama Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Jateng RI dengan Universitas PGRI Semarang (UPGRIS).
Hadir dalam seminar yang dibuka oleh Rektor UPGRIS, Muhdi, yakni anggota tim ahli RUU Guru dan Dosen Prof Armai Arief, Kepala Biro Persidangan DPD RI, Adang Bachtiar, Ketua PGRI Jateng, Widadi, pimpinan perguruan tinggi di Semarang dan perwakilan guru.
Rektor Unika Soegijapranata Semarang, Prof Ridwan Sanjaya, mengungkapkan UU 14/2005 tersebut telah berumur lebih dari satu dasawarsa dalam mengatur soal guru dan dosen. Oleh sebab itu, tersebut perlu diperbaharui mengikuti dengan perkembangan yang ada.
”Berbagai kondisi terbaru khususnya terkait era digitalisasi dalam dunia pendidikan tinggi telah muncul dalam jangka waktu selama satu dasawarsa tersebut,” jelas Ridwan.
Ia mencontohkan keberadaan dosen dengan Nomor Induk Dosen Khusus (NIDK) di samping Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN) dan Nomor Urut Pengajar Nasional (NUPN) yang sudah ada sebelumnya Dosen NlDK, bahkan juga memiliki kesempatan yang sama.
”Seperti dosen NIDN baik dari jabatan akademik, maupun kesempatan mendapatkan sertifikasi dosen. Penggolongan baru ini tentu saja dibutuhkan definisi yang jelas dalam Undang-Undang karena dalam Permenristekdikti Nomor 2 tahun 2016 juga tidak terlihat jelas perbedaan keduanya, kecuali dalam hal prasyarat Tridharma Perguruan Tinggi,” jelasnya.
Selain itu, lanjut dia, dalam beberapa tahun ini juga terjadi peningkatan kewajiban seorang profesor atau pun dosen yang memperoleh sertifikat pendidik, terutama terkait dengan penelitian yang dipublikasikan secara global ke jurnal internasional bereputasi. Hal ini juga berdampak pada sumber pembiayaan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.
”Pada PTN maupun PTS besar, sumber pembiayaan ini tidak terlalu menjadi permasalahan karena adanya jejaring yang besar dan kesempatan yang lebih besar. Namun pada PTS yang kecil, sumber pembiayaan ini seringkali tertutup karena aturan pemerintah daerah yang membatasi pendanaan ke PTS,” jelasnya.
Karena itu, kata Ridwan, apabila hal ini dapat diatur dalam Undang undang yang baru, maka dosen-dosen tersebut mempunyai peluang yang besar untuk melaksanakan tugasnya di daerahnya. Dengan begitu, kewajiban dalam publikasi ilmiah yang ditargetkan oleh pemerintah dapat tercapai.
Rektor UPGRIS, Dr Muhdi menyatakan, sebagai tuan rumah dalam seminar ini menyatakan terima kasih dan mendukung revisi UU tersebut. Beberapa masukan strategis yang diusulkan untuk penyempurnakan isi UU Guru dan Dosen. Di antaranya, memasukan ketentuan penggunaan teknologi informasi dalam proses pembelajaran dan soal pengangkatan guru honorer. ”Di Jateng ini masih kekurangan 8.900 guru, sedangkan untuk pengangkatan guru honorer belum memungkinkan karena ada moratorium,” jelasnya.
Ia juga berharap adanya revisi UU tersebut dapat mengoptimalkan peran guru dan dosen sebagai salah satu upaya dalam menciptakan kesejahteraan tenaga pendidik dan kemajuan pendidikan di Indonesia.
Kepala Biro Persidangan DPD RI Adang Bachtiar mengatakan seminar ini dimaksudkan untuk mendengarkan masukan dari berbagai pihak guna keperluan menyusun RUU tersebut. ”Kegiatan ini bertujuan untuk menggali lebih dalam persoalan kekinian terkait dengan profesi guru dan dosen,” jelasnya.
►https://www.suaramerdeka.com, Suara Merdeka 4 Mei 2018 hal. 24