Oleh: H Sri Sulistyanto
HARGA city car dan low cost green car yang makin terjangkau memang telah membuat harga mobil bekas (used car) turun dratis. Karena masyarakat lebih suka membeli mobil baru. Apalagi ditunjang dengan kredit yang juga makin mudah. Itu sebabnya pemilik mobil acap kali harus miris saat melepas kendaraannya. Yang ditawar jauh di bawah harga belinya dulu.
Padahal, jika mau cermat, mereka mestinya justru harus bersyukur. Wong, saat menjual kendaraannya, sudah untung banyak. Lho kok bisa?
Nilai Buku
Ya. Mari mencoba berhitung. Jika mobil dibeli dengan harga, katakanlah, Rp 200 juta. Setelah dipakai selama 5 tahun atau usia ideal kepemilikan kendaraan masyarakat Indonesia, dijual seharga Rp 75-100 juta. Sekilas pemilik mobil tampak seperti merugi. Karena harga pasarnya jauh dibawah harga belinya.
Tapi persepsi itu bakalan berubah seandainya masyarakat sedikit memahami konsep keuangan, khususnya akuntansi. Yang, secara teoritis, mengakui pengeluaran untuk membeli mobil tersebut sebagai aset (capital expenditure). Bukan sebagai biaya periodik (revenue expenditure).
Alasannya, pertama, kendaraan tersebut dibeli untuk menunjang kegiatan utama pemiliknya, yakni sebagai alat transportasi sehari-hari. Kedua, dimiliki untuk jangka panjang atau bukan barang dagangan. Dan, ketiga, tidak untuk dijual kembali pada tahun pembeliannya.
Konsekuensinya, kendaraan harus disusut nilainya selama masa kepemilikan. Baik sering, jarang, maupun tidak pernah digunakan sama sekali. Karena, sesuai dengan konsep penyusutan (depreciation), harga perolehan (cost) aset harus dialokasikan sebagai biaya periode (expense) selama estimasi masa manfaatnya. Sejalan dengan penurunan nilai aset bersangkutan. Baik teknis maupun ekonomisnya.
Pada dasarnya penyusutan merupakan penegasan bahwa pemanfaatan aset tidak bisa dilakukan secara cuma-cuma. Ada beban yang harus ditanggung. Meski manfaat yang diterima hanya berupa intangible benefit. Misalnya rasa bangga karena memiliki kendaraan tersebut.
Alasan inilah yang membuat penyusutan dikategorikan sebagai biaya tetap (fixed cost). Atau biaya yang besarnya tidak dipengaruhi oleh frekuensi pemakaiannya. Karena itu, mau digunakan atau tidak, penyusutan akan terus berjalan sampai masa ekonomisnya habis.
Secara konseptual ada beberapa alternatif metode penyusutan. Meski biasanya yang dipilih adalah garis lurus. Yang lebih mudah digunakan. Yaitu dengan membagi nilai perolehan dengan estimasi umur ekonomisnya. Sehingga beban penyusutannya akan selalu sama dari tahun ke tahun.
Standar akuntansi juga memberi kesempatan pada pemilik aset untuk mengakui nilai residu atau sisa. Yakni nilai yang mungkin masih melekat ketika aset tersebut habis masa manfaatnya. Yang besarnya tergantung pada kebijakan pemiliknya. Misalnya 10-20 persen dari harga perolehan.
Pemilik sebenarnya juga diberi kesempatan untuk merevaluasi atau menilai kembali aset fisik. Yang secara teknis masih bisa dipakai meski nilai bukunya (book value) sudah habis. Namun, karena mahal dan tidak mudah, jarang ada yang melakukannya. Dan memilih untuk menjual asetnya.
Maka, jika kembali pada contoh di atas, dengan harga 200 juta. Usia pakai 5 tahun. Nilai residu 10-20 persen. Dan harga jual kembali Rp 75-100 juta. Pemilik sebenarnya memperoleh untung Rp 80-90 juta. Bahkan dengan mempertimbangkan inflasi, misalnya 6 persen per tahun, tetap saja untung Rp 30-40 juta.
Itu sebabnya perusahaan sampai membuat rekening (account) tersendiri untuk mencatat keuntungan dari transaksi seperti ini. Yakni laba jual aset tetap. Bagaimana tidak, aset yang sudah tidak mempunyai nilai ekonomis masih laku dijual. Bahkan memperoleh untung.
Karenanya bukan tanpa alasan jika, di beberapa negara maju, usia kendaraan dibatasi. Seperti Singapura, Jepang, maupun Amerika Serikat. Masyarakat di negara-negara tersebut tentu juga tidak perlu merasa dirugikan. Bahkan jika kendaraan bekasnya nanti tidak laku dijual sama sekali. Sebab saat itu nilai bukunya sudah habis. Dan tinggal residunya. Ini mungkin juga bisa menjelaskan mengapa Pemerintah Indonesia melarang impor mobil bekas dari Singapura. Karena, meski masih tampak bagus, kendaraan bekas itu sampah di negaranya. Yang harus dibuang. Walau, ironisnya, masyarakat Indonesia mau membayarnya.
Catatan Penutup
Nah, kini masyarakat mestinya tidak perlu miris lagi saat harus menjual kendaraannya. Karena aset yang usianya sudah mencapai 5 tahun memang sudah semestinya dikategorikan sebagai “sampah”. Meski masih mempunyai nilai rupiah (value for money). Karena masyarakat masih mau mengapresiasinya dengan harga pasar. Sekalipun jauh dibawah harapan. Setuju? (*/ida)
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Soegijapranata Semarang