Oleh: Sri Sulistyanto *
Lumrah jika di banyak perusahaan, untuk jabatan tertentu, khususnya level direksi, dipegang oleh profesional dari luar perusahaan. Bukan orang-orang yang sejak awal berkarir di entitas tersebut. Seperti Pahala N. Mansury, Dirut Garuda Indonesia, yang berasal dari Bank Mandiri. Achmad Baiquni, Dirut BNI, yang sebelumnya berkarir di BRI. Atau Elia Massa Manik, Dirut Pertamina, dari PTPN III.
Karenanya tidak perlu baper jika di Pilkada 2018 kali ini banyak Parpol yang memilih meminang orang luar sebagai jagoannya daripada mengajukan pengurus partai atau kadernya sendiri. Lho kok bisa?
Kaderisasi
Ya. Karena ini sejalan dengan teori pasar manajer (market of manager). Yang menyatakan bahwa setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk memimpin. Itu sebabnya semua orang harus selalu siap untuk saling mengganti dan digantikan duduk di tampuk kekuasaan. Baik dalam satu entitas yang sama maupun antar entitas. Bahkan dengan orang di luar entitas-entitas tersebut.
Semua tentu tergantung pada kinerja dan prestasi masing-masing. Yang memang selalu dipantau dan dinilai secara terbuka setiap saat. Baik secara internal maupun eksternal. Oleh teman maupun lawannya. Yang tidak mentolerir adanya kesalahan sedikitpun juga.
Ini sebabnya mengapa setiap orang selalu berusaha menonjolkan dirinya. Dengan kapasitas dan kompetensinya. Maupun menunjukkan keunggulan dan keberhasilannya. Agar selalu tampak bersinar dibandingkan orang lain. Karena semakin kelihatan mengkilap akan semakin besar pula peluangnya menjadi pemimpin. Demikian juga sebaliknya. Sedikit kesalahan akan membuatnya terjungkal.
Maka tidak mengherankan jika kemudian banyak orang melakukan pencitraan untuk mendongkrak namanya. Agar dinilai sebagai seorang pemimpin yang qualified seperti yang diinginkan dan dibutuhkan pasar. Baik sekadar dengan membuat dirinya sebagai media darling sehingga namanya selalu muncul dalam pembicaraan dan pemberitaan. Maupun benar-benar dengan segudang prestasi terbaiknya. Yang memang bisa dibanggakan.
Karena itu, sebagai contoh, banyak perusahaan publik (public company) yang acap tetap membagikan deviden tunai untuk para pemegang sahamnya meski merugi. Dengan menggunakan dana cadangan yang disimpan perusahaan dalam bentuk laba ditahan (retained earned). Semata-mata agar sang direksi tetap terlihat “berprestasi” di mata masyarakat.
Namun demikian tidak semua orang hanya bermain pencitraan semata. Banyak yang memang benar-benar mempunyai prestasi mengkilat. Hingga layak masuk papan atas bursa manajer. Seperti Ignatus Jonan yang sukses menata seluruh aspek manajemen dan operasional PT Kereta Api Indonesia (KAI).
Pola seperti itu sebenarnya sudah sejak beberapa tahun terakhir diadopsi oleh perguruan tinggi di Indonesia. Seperti Universitas Indonesia dan Universitas Trisakti Jakarta. Yang membuka dan memberi kesempatan kepada orang luar untuk memegang jabatan-jabatan tertentu. Khususnya rektor dan dekan. Sejauh memenuhi kriteria yang dipersyaratkan.
Jadi memang tidak perlu menilai sebuah Parpol tertentu gagal dalam melakukan kaderisasi jika calon yang diajukan dalam Pemilu bukan pengurus partai atau kader sendiri. Seperti yang dilakukan Gerinda yang sukses mengusung Anies Baswedan di Pilkada DKI Jakarta. PKS yang mendukung Edy Rahmayadi di Sumatra Utara. Golkar yang mencalonkan Khofifah Indar Parawansa di Jawa Timur. Atau Nasdem yang menggandeng Ridwan Kamil di Jawa Barat. Padahal mereka bukan kader parpol-parpol tersebut.
Meski awalnya memang menimbulkan riak kecil, biasanya pengurus partai, kader, dan simpatisan parpol bisa menerima keputusan tersebut. Betapa tidak, karena untuk kompetisi semacam itu memang dibutuhkan tokoh tertentu yang kredibel dan layak untuk dijual. Dengan sedikit resistensi internal dan eksternal.
Karena memang mesti diakui jika probabilitas kemenangan nama-nama yang diambil dari “pasar manajer” pasti jauh lebih besar. Dibandingkan orang-orang internal yang kadang minim prestasi. Yang selama ini acap hanya bisa menimbulkan kegaduhan politik belaka.
Catatan Penutup
Lantas, bagaimana kepala daerah non partisan loyalitas terhadap Parpol pengusungnya? Sama dengan para profesional di perusahaan. Yang tidak perlu loyal kepada pemegang saham tapi cukup kepada entitasnya. Dengan meningkatkan nilai perusahaan. Maka demikian pula dengan mereka. Tidak perlu loyal kepada Parpolnya. Tapi cukup bekerja untuk masyarakat dan daerahnya. Karena jika daerahnya maju, Parpol pengusung bakal mendapat goodwill. Dan akhirnya berdampak positif bagi perolehan suaranya. Setuju?
— *) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Soegijapranata Semarang