Oleh Gustav Anandhita
DI Indonesia, khususnya Jawa Tengah, bambu atau pring sudah sangat lekat dengan kebudayaan dan tradisi masyarakat. Bambu mudah diolah menjadi berbagai benda untuk memenuhi kebutuhan keseharian, seperti bahan makanan, perabotan, kerajinan, bahkan material konstruksi. Salah satu cara masyarakat mengolah bambu adalah dengan menganyam.
Menganyam adalah keahlian asli orang Asia, termasuk Indonesia. Bambu berkarakteristik elastic, sehingga mudah dibentuk dengan teknik anyaman. Menganyam merupakan cara paling dasar dan serbaguna untuk menyusun bilah bambu menjadi lembaran atau bentuk yang diinginkan. Menganyam melalui cara menyilangkan bilah bambu mengikuti pola, sehingga tumpang-tindih dan tidak mudah lepas. Seiring perkembangan, anyaman bambu bisa dibuat dengan berbagai macam pola menarik secara estetika.
Berbagai pola anyaman bambu saat ini dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu pola dua sumbu (biaksial), tiga sumbu (triaksial), dan empat sumbu atau lebih (multiaksial). Pola-pola itu dalam praktik menghasilkan tingkat kerapatan dan ketebalan berbeda dan untuk fungsi berbeda pula. Pada konstruksi bangunan, misalnya, anyaman bambu berbilah tebal dan sedikit renggang dapat digunakan sebagai dinding luar atau gedhek.
Anyaman berbilah tipis dan rapat atau kepang sering untuk partisi kamar dan plafon. Sebagai elemen arsitektural, dinding anyaman bambu memiliki kelebihan sebagai komponen prefabrikasi, yaitu kecepatan waktu konstruksi.
Percepatan waktu diperoleh karena komponen dinding anyaman bambu dapat dibuat lebih dahulu sebelum atau bersamaan waktu pembuatan fondasi dan struktur. Pada konstruksi konvensional seperti dinding batu bata, dinding tak bisa dibangun selama proses pembuatan fondasi belum selesai. Eksekusi dinding anyaman di lapangan jauh lebih cepat dan memperpendek jangka waktu pembangunan, sehingga menghemat biaya.
Selain bermanfaat dalam program pengadaan hunian yang hemat dan terjangkau, kecepatan konstruksi menjadi kriteria ideal dalam proses rekonstruksi hunian pascabencana. Sebab, kecepatan pengerjaan shelter atau hunian sementara menjadi prioritas dalam tanggap bencana. Itu terbukti efektif ketika diterapkan saat pembuatan shelter pengungsi bencana erupsi Gunung Merapi dan gempa bumi di Yogyakarta, beberapa tahun silam.
Kendala dan Kekurangan
Awalnya, dinding anyaman bambu cukup ideal bagi masyarakat di pedesaaan. Selain murah, celah udara pada anyaman memungkinkan tercipta penghawaan alami yang bagus bagi iklim tropis. Namun seiring perkembangan zaman, dinding anyaman bambu kini dianggap kurang lagi optimal untuk mendukung hunian masyarakat. Dahulu jarak antar-rumah di pedesaan cukup jauh, sehingga insulasi suara tak begitu dipermasalahkan.
Namun dengan peningkatan kepadatan hunian, tinggi polusi suara dan udara, dinding anyaman yang relatif tipis dirasa tidak lagi memberikan insulasi dan privasi bagi penghuni. Selain itu dinding anyaman bambu rentan sekali terbakar dan mudah menyimpan debu di sela-selanya.
Perubahan selera masyarakat juga berpengaruh besar terhadap penurunan minat terhadap dinding anyaman bambu. Apalagi ada stigma negatif yang mengidentikkan rumah anyaman bambu dengan bangunan tidak permanen dan hunian keluarga tidak mampu. Itulah yang menyebabkan masyarakat di pedesaan beralih menggunakan dinding batu bata.
Celakanya, masyarakat sering membangun dinding batu bata di bawah standar karena kekurangan biaya. Ada dua faktor penyebab masyarakat meninggalkan dinding anyaman bambu. Pertama, kurangnya insulasi.
Kedua, tampilan dinding anyaman bambu dianggap tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Menghadapi kedua masalah itu, telah banyak kajian dan upaya meningkatkan kinerja dinding anyaman bambu, baik secara tradisional maupun lebih modern. Upaya secara tradisional dengan melapisi atau memplester anyaman bambu dengan kapur atau campuran tanah liat dan serat tanaman sisa kotoran sapi.
Teknik itu dikembangkan dengan mengganti adonan tanah liat dan campuran semen atau bambu plester. Metode konstruksi bambu plester murah dengan karakter konstruksi “dinding tembok” yang memanfaatkan potensi anyaman bambu.
Keseluruhan dinding dari anyaman dan rangka bambu diplester, sehingga menghasilkan kekuatan lebih baik ketimbang dinding anyaman bambu biasa. Teknik bambu plester dengan semen di Indonesia kali pertama dijumpai pada bangunan perumahan bagi pegawai pada masa kolonial Belanda. (53)
—Gustav Anandhita STMT, pengurus IAI Jawa Tengah, pegiat Komunitas Arsitektur Semarang, dosen Arsitektur FAD Unika Soegijapranata
►https://www.suaramerdeka.com, Suara Merdeka 1 Juli 2018 hal. 14