Rektor Unika Soegijapranata Semarang Prof Dr Ridwan Sanjaya mengklaim sejauh ini belum memperoleh surat edaran dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) RI.
Yakni terkait adanya permintaan agar seluruh pimpinan perguruan tinggi mendata akun media sosial (medsos) para civitas akademika di lingkungannya.
Merespon hal tersebut, Prof Ridwan melalui Tribunjateng.com, Sabtu (7/7/2018) menilai dan merasa tidak yakin apabila pemantauan paham radikalisme di kampus melalui cara pendataan akun medsos tersebut bisa berjalan efektif.
“Mungkin lebih baik Pemerintah Pusat melalui Kemenristekdikti RI bisa membuat program internalisasi nilai-nilai kebangsaan.
Dalam penerapan program itu juga dikemas secara kreatif, disesuaikan dengan gaya anak zaman sekarang,” ucap Prof Ridwan.
Menurutnya, dari satu contoh cara itu, diyakini oleh pihaknya, mereka para generasi muda atau dalam hal ini adalah para mahasiswa yang merupakan bagian dari civitas akademika perguruan tinggi dapat menemukan spirit kebangsaan secara mendalam, baik itu secara langsung maupun tidak langsung.
“Internalisasi bukan berarti membuat mata kuliah baru atau bentuk kampanye lainnya. Internalisasi nilai itu bisa dimasukkan ke setiap mata kuliah yang sesuai dan di dalam setiap kegiatan berbasis softskill. Dan di Unika Soegijapranata sendiri, kami sedang melakukannya,” tandasnya.
Pernyataan serupa juga diutarakan Rektor Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus) Prof Dr Masrukhi. Sampai hari ini, Sabtu (7/7/2018), pihak belum menerima edaran atau instruksi tersebut. Kalaupun ada, dalam konteks pendidikan tidak masalah.
“Hanya saja, apakah nantinya dari aturan atau instruksi tersebut malah justru merepotkan sendiri, terutama bagi Kemenristekdikti RI? Namun prinsip, jika itu diatur resmi, kami akan lakukan sesuai kebijakan yang ada di kampus kami,” ucapnya.
Prof Masrukhi mengungkapkan, keprihatinan pemerintah terhadap dugaan munculnya radikalisme dari kampus memang perlu dihargai. Itu sebagai upaya guna mengawal lahirnya sarjana yang patriotis dan tidak terkontaminasi paham radikal.
“Di Unimus, kami bersama-sama dengan pimpinan program studi serta pembina kemahasiswaan telah merancang bersama kegiatan anti radikalisme melalui kajian keagamaan yang komprehensif,” terangnya.
Menurutnya, para fungsionaris juga dilibatkan, sehingga mereka ikut bersama-sama mengawal pelaksanaannya. Perancangan itu meliputi kurikulum kegiatan, sistem tutorial, narasumber, materi, serta evaluasinya. Sehingga kampus yang berbasis ke Islaman ini menjadi masjid kampus sebagai center kegiatannya.