Oleh : Widyanto SE MM *)
SAYA mengenal Empu Subandi dari beberapa sumber di media sosial termasuk video pendeknya mengenai pembuatan keris di besalennya. Setelah itu, ada kesempatan bertemu beliau di Museum Keris Solo. Beliau yang ramah dan sabar, cukup membuat saya senang bertanya tentang keris dan segala ilmu metalurginya.
Ketika saya mendapat tugas mendesain baliho untuk FEB Unika Soegijapranata, saya berpikir FEB Unika harus dikomunikasikan dengan baik dalam bentuk visual. Setelah berpikir mencari ide dan riset sederhana, saya dibantu sharing dengan tim, memutuskan untuk mengikonkan Empu Subandi Suponingrat sebagai empu zaman now yang masih setia melestarikan pembuatan keris dengan cara lama dan penuh dedikasi.
Saya berpikir ada persamaan antara sebuah kampus dan seorang empu keris dalam menghasilkan output terutama dalam prosesnya. Kalau kampus menghasilkan sarjana yang mumpuni, sedangkan empu keris menghasilkan sebilah keris yang indah kuat dan berguna bagi pemiliknya. Saya pikir, tentu tidak mudah kampus mendidik sarjana yang mumpuni. Banyak proses yang harus dicapai. Demikian juga dengan sebilah keris.
Kemudian saya sowan ke besalen beliau. Kami mendapat izin untuk mengambil gambar beliau ketika mulai membuat keris pesanan. Kami mengambil gambar seharian ketika Empu Subandi membuka dengan ritual penempaan perdana dengan berbagai ubo rampe-nya, para panjak mulai menempa besi membuat saton, menyisipkan baja untuk slorok dan mulai menyelipkan pamor berupa nikel. Besi, baja dan pamor nikel harus disatukan dalam keadaan membara 1200 derajat Celcisus. Besalen Empu Subandi masih menggunakan arang kayu jati sebagai bahan bakar.
Kemudian membuat lapisan pamor dari nikel atau iron meteorit. Pekerjaan melipat bisa saja berlangsung ratusan atau ribuan kali lipatan. Lipatan–lipatan ini kemudian ditempa. Jika menggunakan iron meteorit harus di-tapis dahulu karena meteor bisa pecah berkeping-keping bila ditempa. Di-tapis adalah menyelipkan iron meteorit ke kotak besi dan menempa sampai besinya habis. Penggunaan meteor sebagai pamor juga berisiko karena bisa hilang menguap. Setelah kodokan atau bakal keris jadi, maka masuk tahap menatah dan membentuk keris baik menjadi lurus atau berkelok atau luk. Ditatah dibentuk di-gerinda lagi. Setelah itu di-sepuh yaitu dipanaskan membara kemudian di-celup di dalam minyak untuk mengeraskan bilahkeris. Tahap berikutnya adalah merendam dengan cairan belerang supaya membuka pori-pori bilah. Kemudian mewarangi dengan cairan arsenikum. Dari situ akan terlihat pola pamor yang indah. Cairan arsenikum akan menghitamkan logam besi dan mencerahkan logam pamor baik dari nikel atau iron meteorit. Setelah itu, bilah keris dibuat wadah yang disebut warangka yang terbuat dari kayu pilihan, gading gajah, geraham ikan paus tanduk kerbau albino dan seterusnya. Mendhak atau cincin keris akan dibuat indah dengan berbagai motif, seringkali menggunakan intan berlian. Maka selesailah sebuah kesatuan bilah keris jadi. Pengerjaan sebilah keris melibatkan empu yang merancang keris, panjak yang menempa tiga logam itu menjadi satuan yang kuat dan indah, mranggi yang membuat warangka kayu, tukang tatah untuk membuat pendhok keris dari logam-logam terbaik, tukang emas untuk menghias dan membuat mendhak selut dengan hiasan batu mulia.
Saya berpikir pekerjaan dosen di perguruan tinggi juga hampir sama dengan seorang empu. Kegiatan menempanya adalah menyiapkan anak muda lulusan pendidikan menengah untuk menjadi sarjana. Mendidik mereka dengan logika ilmu yang baik. Menyiapkan mereka dengan berbagai ilmu yang diminati. Mendidik mereka soft skill tentang kepemimpinan dan kewirausahaan. Sampai akhirnya mendapat gelar akademis kesarjanaan.
Sehingga kampus yang baik adalah kampus yang menyiapkan calon lulusannya seperti empu yang menciptakan keris. Maka desain baliho dengan ikon Empu Subandi sedang menempa keris, saya pikir tepat dalam menggambarkan bagaimana usaha FEB Unika Soegijapranata menyiapkan lulusannya.
*) Dosen Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB) Unika Soegijapranata