SUKACITA di Pringgandani terlihat ketika Dewi Arimbi melahirkan seorang putra dari pernikahannya dengan Bima (Werkudara), tetapi kegembiraan itu kemudian menjadi kebingungan karena tali pusar si bayi yang kemudian diberi nama Jabang Tetuka tidak bisa dipotong bahkan dengan senjata sakti apapun. Saat kebingungan itu ada petunjuk bahwa tali pusar Jabang Tetuka dapat dipotong dengan senjata yang diberikan oleh Batara Guru.
Sementara di khayangan tempat tinggal para dewa, sedang terjadi keributan. Prabu Kala Pracona ingin memperistri Batari Supraba tetapi tidak disetujui para Dewa karena tidak sembarang orang bisa mendapatkan istri seorang Batari. Prabu Kala Pracona pun menyuruh Patih Sekipu untuk menyerang khayangan. Kekacauan itu hanya bisa diatasi oleh Jabang Tetuka yang baru saja lahir.
Batara Guru pun memerintahkan Batara Narada untuk memberikan senjata panah Kunta Wijayadanu kepada Arjuna yang diutus Pandawa untuk mencari senjata guna memotong tali pusar Jabang Tetuka. Tetapi Batara Narada salah memberikan kepada Karna yang wajahnya mirip dengan Arjuna. Maka Arjuna meminta senjata itu tetapi tidak diberikan dan terjadi perang tanding merebutkan senjata tersebut. Arjuna hanya mendapat sarungnya sedangkan Karna mendapatkan anak panahnya.
Ternyata sarung Kunta Wijayadanu bisa digunakan untuk memotong tali pusar Jabang Tetuko tetapi anehnya sarung senjata itu justru masuk dan menjadi satu dengan sang jabang bayi. Setelah tali pusar putus Jabang Tetuka diberi segala kesaktian oleh dewa dan kemudian diminta untuk menyelesaikan kekacauan di khayangan. Jabang Tetuka yang kemudian diberi nama Gatotkaca dapat membunuh Patih Sekipu dan Prabu Kala Pracona sehingga mengembalikan khayangan seperti sediakala.
Penggalan cerita tersebut merupakan penampilan wayang orang yang dimainkan kelompok Ngesti Pandawa di Aula Gedung Albertus Unika Soegijapranata sebagai bagian dari perayaan Natal 2018 dan Tahun Baru 2019. Penampilan wayang orang Ngesti Pandawa ini dapat menghibur seluruh civitas akademika setempat dengan tampilan yang lebih modern dibantu oleh hadirnya teknologi.
Representasi
Latar belakang panggung dipasang layar berukuran besar menampilkan gambaran situasi sesuai alur cerita sehingga pagelaran wayang terasa lebih hidup. Rektor Unika Soegijapranata Prof Dr Ridwan Sanjaya menyatakan, cerita yang diangkat dari budaya tradisional dianggap sebagai representasi kelahiran Yesus Kristus dihadirkan dengan sentuhan teknologi informasi mirip saat pementasan lakon ‘Semar Boyong’ di Gedung Ki Nartosabdo komplek Taman Budaya Raden Saleh, beberapa waktu lalu.
“Yang membedakan dulu pake layar televisi LED, kalau sekarang di Unika memakai layar LCD. Pementasan ini untuk merepresentasikan rasa bangga memliki budaya dan rasa bangga kepada budaya lokal,” kata Prof Ridwan, Jumat (11/1).
Perayaan Natal kali ini menurutnya dapat terlaksana dengan baik karena adanya sinergis antar civitas akademika Unika Soegijapranata. Hal ini sesuai dengan tema karya Universitas pada tahun ini yaitu Keterlibatan Sinergis. “Terlibat sama-sama mengisi satu sama lain sehingga dampaknya lebih besar,” tambahnya.
Tema karya tersebut selalu didengungkan dalam setiap acara universitas, sama seperti dengan tema Natal kali ini yang berarti tidak meninggalkan Tuhan dalam setiap usaha-usaha dilakukan Unika Soegijapranata di masyarakat dengan talentanya masing-masing saling mengisi untuk menghasilkan sesuatu yang besar bagi kemanusiaan dan bangsa Indonesia.