Oleh: Berta Bekti Retnawati
Gaung ekonomi sirkular dewasa ini semakin sering terdengar baik di luar maupun di dalam negeri. Namun demikian belum banyak pelaku bisnis dan pemangku kepentingan yang intens menggemakan dan mengimplemetasikan dalam skala yang lebih luas. Penerapan konsep ekonomi sirkular diyakini akan membuat cara berbisnis lebih ramah lingkungan. Sebenarnya dalam konsep ini ada istilah-istilah yang sudah jamak diketahui bersama yakni 3R (reduce, reuse, dan recycle).
Hanya saja dalam pelaksanaan untuk ekonomi sirkular harus dilaksanakan dari hulu ke hilir dengan melibatkan tiga pihak yang bersinergi, pemerintah sebagai fasilitator dan regulator, perusahaan sebagai penghela usaha, ataupun masyarakat sebagai pemasok bahan baku termasuk di dalamnya pelaku usaha kecil mestinya perlu senantiasa bersinergi.
Dalam pemahaman ekonomi sirkular menurut Geissdoerfer (2017) menyatakan definisinya sebagai berikut: “…a regenerative system in which resource input and waste, emission, and energy leakage are minimised by slowing, closing, and narrowing energy and material loops. This can be achieved through long-lasting design, maintenance, repair, reuse, remanufacturing, refurbishing, and recycling. Definisi tersebut menekankan arti penting ‘regenerasi’ sistem yang mensyaratkan penggunaan input sebagai sumber daya masukan proses produksi yang tidak menimbulkan limbah, polusi, atau dibuang percuma.
Pentingnya penerapan bisnis yang terintegrasi dan mengedepankan desain yang berusia panjang, mudah dirawat, diperbaiki, digunakan kembali, diproses lanjutan lagi dan mudah didaur ulang. Senada dengan hal ini tokoh gerakan ekonomi sirkular dengan organisasi yang diprakarsainya yakni Ellen MacArthur Foundation (2013) merumuskan tiga prinsip utama ekonomi sirkular dengan sangat tegas.
Pertama, desain produk harus menghilangkan limbah dan polusi. Kedua, produk dan materialnya dipastikan bisa dilakukan pemanfaatan berkelanjutan. Ketiga, sistem sumber daya alam yang dihasilkannya bersifat regeneratif, dengan demikian konsepA Regenerative Economy by Design akan mendapatkan bentuk dan tempatnya. Sejalan dengan pendapat Robert C Brears dalam Natural Resource Management and the Circular Economy(2018), ekonomi sirkular bertujuan agar proses pemanfaatan sumber daya alam berlangsung selama mungkin. Nilai produk material digunakan, kemudian dipulihkan kembali, dan diperbarui (reduce,reuse,and recycle) pada akhirnya ekonomi sirkular didorong untuk mengatasi masalah limbah yang semakin menumpuk, kelangkaan bahan baku, dan kurangnya kesadaran konsumen untuk lebih bertanggung jawab.
Ketiga tokoh tersebut sepakat bahwa ekonomi sirkular penting untuk menggantikan ekonomi linier yang terus senantiasa mengeksploitasi sumber daya alam dan menghasilkan sampah. Berkaca dari produksi sampah di Indonesia saat ini, data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2018) menunjukkan bahwa total sampah di negara kita mencapai 187,2 juta ton per tahun dan sampah plastik mencapai 64 juta ton per tahun dimana 3,2 juta ton adalah sampah plastik yang dibuang. Kondisi ini menghantar negara kita sebagai penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia.
Sekadar melihat dari sisi kerugian finansial akibat sampah ini pun ternyata luar biasa jumlahnya. Co-founder Making Ocean’s Plastik Free (MOPF), Roger Spranz memberikan gambaran dari hasil penelitian yang dilakukan akibat penggunaan dan pencemaran kantong plastik kerugian ekonomi nasional mencapai 2,91 miliar dolal AS atau sekitar Rp 39 triliun per tahun. Tentunya gelar penyumbang sampah plastik dunia dan kerugian finansial yang ditanggung ini harus segera dikurangi dengan mengubah ekonomi linier yang memiliki sistem produksi-penggunaan-pembuangan menuju ke ekonomi sirkular yang restoratif dan regeneratif.
Berbagai inovasi pun lahir dari semangat ekonomi sirkular, dari beragam industri dan produk yang dihasilkan, tentunya hal ini menumbuhkan optimisme berbagai kalangan untuk bersinergi dan bersama memiliki daya ubah. Dari industri air mineral dalam botol plastik, sudah mulai ada gaung untuk menggunakan kemasan plastik yang bisa didaur ulang, kemasan bekas pakai diolah kembali menjadi bahan baku proses produksi yang tujuannya tidak ada yang terbuang. Optimalisasi berat kemasan juga direview lagi untuk meminimalkan penggunaan bahan baku.
Upaya yang sama dilakukan oleh industri produksi diesel dengan memanfaatkan sampah dan residu, gelas kertas yang bisa dan mudah didaur ulang dan dunia fashion pun juga sudah mulai ada yang menghasilkan pakaian dari bahan kain bekas. Dari dalam negeri juga ada inovasi yang tidak kalah kreatif dengan menyebutkan salah satunya adalah penggantian plastik berbahan singkong. Ternyata tidak hanya singkong yang bisa dibuat untuk menggantikan biji plastik, dengan teknologi eco-plastic (bioplastik) anak muda Indonesia seperti Kevin Kumala dkk (2010) meneliti bahan nabati lain seperti kedele dan jagung yang pada akhirnya riset ini menghasilkan lembaran plastik yang diterima di pasar Eropa dan Australia.
Kesadaran konsumen global terhadap pelestarian lingkungan mendukung secara positif bisnis yang dikembangkan anak-anak muda bertalenta dari Indonesia ini. Inovasi-inovasi seperti inilah yang akan mendorong ekonomi sirkular memiliki energi pengubah tentunya didukung semaksimal mungkin oleh berbagai pihak. Salah satu upaya dengan model kemitraan dalam mewujudkan konsep ekonomi sirkular dengan tiga pilar yakni lembaga pemerintah, swasta, dan masyarakat yang saling bersinergi dengan tugasnya masing-masing akan mempercepat bentuk dan kokohnya sistem ekonomi sirkular tersebut.
_______________________________
Dr. Berta Bekti Retnawati, SE., M.Si
Ka LPPM Unika Soegijapranata
►http://jateng.tribunnews.com, Tribun Jateng 17 Januari 2018 hal. 2