Oleh: Ridwan Sanjaya
Tahun 2018 yang penuh antusiasme dan hingar bingar teknologi baru maupun cara-cara baru dalam berbagai aktivitas masyarakat modern ternyata menyisakan tanda tanya keberlanjutannya. Namun filsuf Yunani Heracletos (540-480 SM) telah jauh-jauh menyatakan bahwa nothing endures but change, atau tiada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri.
Artinya, inovasi-inovasi yang tercipta hanya baru pada masanya saja dan tetap bisa tergantikan dengan yang lebih baik. Tidak ada yang abadi.
Mengikuti perubahan yang tiada henti seringkali menciptakan kelelahan bahkan keputusan untuk berhenti. Obrolan selama perjalanan pulang dengan sopir taksi bandara yang berusia 62 tahun menyiratkan bahwa dirinya sudah tidak sanggup lagi mengikuti perkembangan taksi sekarang ini. Meskipun setahun yang lalu taksinya juga telah dipasang aplikasi pemesanan secara daring, akhirnya dia menyerah dan mengambil keputusan untuk berhenti dari taksi konvensional, kemudian bergabung dengan taksi bandara yang tidak dikejar-kejar setoran.
Alasannya, dia merasa cara yang baru tersebut lebih cocok untuk generasi yang baru. Meskipun dirinya sudah berusaha belajar sekuat tenaga, tetap saja tidak tak satupun kebiasaan baru bisa dijalaninya. Ia memilih menepi dari hiruk pikuk arus utama dan menjalani pola kerja yang lebih sesuai dengan dirinya, serta melayani captive market yang seringkali juga memilih tidak berubah atau tidak bisa berubah.
Kisah ini mungkin banyak dialami oleh orang-orang di sekitar kita, atau bahkan kita sendiri. Ada kalanya kita tidak bisa berubah karena usia atau fisik, namun ada juga karena ketiadaan kemauan untuk berubah. Seringkali karena melihat cara yang tersedia saat ini masih baik-baik saja, kekhawatiran akan hal baru yang belum pasti masa depannya, tuntutan untuk belajar kembali akibat perubahan yang sedemikian cepat, atau bahkan karena tidak sesuai dengan cara pandang kita saat ini.
Apapun yang menjadi penyebabnya, perubahan tetap terjadi dan kerap kali melintas di depan mata kita. Menghentikannya, mungkin hanya akan berhasil sementara waktu saja. Bahkan di berbagai wilayah, perubahan yang sama bisa saja telah terjadi dan menjadi hal yang wajar, melengkapi struktur masyarakat di sana, atau menjadi kebiasaan baru yang akhirnya menghasilkan kenyamanan. Meskipun kadangkala juga terjadi berbagai kustomisasi yang menyesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat.
Dilema penemu
Kehausan akan penciptaan inovasi baru yang menyingkirkan pemain lama atau bahkan generasi lama, menciptakan dilema tersendiri bagi kemanusiaan. Terutama yang tersingkir bukanlah petahana dalam arti pemilik bisnis atau investor, melainkan orang-orang yang telah lama bekerja mendukung sistem lama.
Ketika sudah tidak sanggup lagi mempelajari hal yang baru atau sistem baru tidak lagi membutuhkan mereka, kemana mereka akan melanjutkan hidupnya. Apakah tersingkir dan terlupakan begitu saja, atau ada jalan yang bisa menjadi pintu keluar bagi mereka?
Pertanyaan-pertanyaan ini memenuhi benak dalam satu tahun terakhir di tengah-tengah usaha untuk menghasilkan hal-hal baru yang dapat membantu generasi baru dalam menyongsong masa depan. Dalam berbagai pendapat umum, dorongan untuk melakukan adaptasi terus disuarakan. Jika tidak bisa beradaptasi, maka mereka yang kuat atau pintar sekalipun akan punah seperti yang disimpulkan dari buku On the Origin of Species yang ditulis oleh Charles Darwin.
Membayangkan “kepunahan” mereka-mereka yang saat ini terdesak oleh kemunculan berbagai inovasi merupakan hal tragis yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Tergantikan secara alamiah merupakan kisah happy-ending yang diharapkan oleh banyak orang. Sementara yang lain hingar bingar oleh beragam karya inovatif, mereka tersudut dalam senyap dan keheningan.
Kalimat-kalimat yang menghibur seperti halnya pekerjaan baru akan muncul menggantikan pekerjaan yang lama, juga terasa menyesakkan. Karena pekerjaan-pekerjaan baru tersebut seringkali juga tercipta untuk generasi muda sebagai akibat dari perubahan gaya hidup anak muda. Profesi baru seperti Youtuber, Gamer, Make-up Artist, Barista, dan sejenisnya bahkan menjadi hal yang asing bagi generasi sebelumnya. Sedangkan pekerjaan-pekerjaan lama kini membutuhkan ketrampilan yang lebih tinggi.
Tidak ada resep tunggal
Berpindah ke lingkup pekerjaan dengan ketrampilan yang sama seperti pekerjaan sebelumnya, seperti halnya sopir taksi dalam kisah di awal tulisan ini, merupakan solusi jangka pendek yang harus selalu dievaluasi. Selain itu, pemerintah Singapura memiliki contoh kebijakan dalam memberikan insentif berupa subsidi ketika perusahaan mempunyai program untuk melatih kembali pekerjanya. Dengan begitu, mereka tidak harus tersingkir dari pekerjaan yang keterampilannya dituntut untuk lebih meningkat.
Bagi dunia bisnis, kondisi ini juga bisa menjadi tantangan bagi para penemu untuk menghasilkan inovasi berupa platform yang lebih sesuai dengan teknologi yang lebih sederhana bagi penggunanya. Platform tersebut dapat menjadi peluang dan kesempatan baru, bukan hanya bagi mereka yang membutuhkan tetapi juga bagi dunia bisnis. Jumlah yang besar akan menjadi kekuatan bagi dunia bisnis yang bisa menggerakkan melalui platform baru yang lebih sesuai.
Mengadaptasi pernyataan pebisnis kondang Amerika Serikat, Martha Stewart, bahwa tidak ada resep tunggal untuk sukses, begitu pula dengan kondisi di atas. Tidak ada resep maha-manjur untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Keterlibatan strategi individu, kebijakan pemerintah, atau bahkan inovasi para penemu yang dikolaborasikan bersama akan memperpanjang eksistensi mereka sampai kisah “happy-ending” tiba.
_____________________________
Prof. Dr. Ridwan Sanjaya adalah guru besar di bidang Sistem Informasi Unika Soegijapranata Semarang