Kuliah Kerja Nyata (KKN) adalah sebuah bentuk pengabdian kepada masyarakat oleh mahasiswa.
Lewat KKN, para mahasiswa diharapkan bisa terjun langsung ke tengah-tengah masyarakat, memahami permasalahan di lingkungan dan memecahkannya.
Nelly Greaca Nababan, mahasiswa jurusan Manajemen Universitas Katolik Soegijapranata Semarang pun memiliki kesan-kesannya setelah ikut dalam KKN yang diselenggarakan bersama Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK) di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat, 8–27 Januari 2019 lalu.
Nelly bergabung dengan mahasiswa dari enam perguruan tinggi yang tergabung dalam APTIK Indonesia di antaranya Unika Atma Jaya Jakarta, Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, dan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Kegiatan KKN diadakan oleh APTIK dalam rangka membantu memulihkan kondisi warga Mentawai pasca tragedi Tsunami yang menimpa warga beberapa tahun silam.
"Motivasi saya ikut program KKN APTIK Peduli ini untuk membagikan ilmu yang didapatkan di Universitas dan saya harap dapat berguna di tempat KKN," ujarnya, Rabu (6/2/2019).Ia mengaku senang mengabdikan diri ke masyarakat. Ia pun bersyukur terpilih sebagai perwakilan dari Universitas, untuk berangkat ke Mentawai.
"Jadi ini tantangan bagi saya mengalahkan ego pribadi apakah saya sudah layak hidup di masyarakat dan apakah saya dapat berguna bagi orang lain," paparnya.
KKN APTIK di Mentawai ini dimulai pada 8 Januari, di mana mereka diberi pembekalan di Muara Siberut.
"Dari gelombang sebelumnya sudah ada pengalaman mengenai dusun yang ditempati, namun dari kelompok saya kebagian di Dusun Atateitei, Mentawai Sumbar," ujarnya.
Setelah beberapa hari pembekalan, hari menuju ke Dusun Atateitei datang, ia dan kawan-kawannya menyebrang menggunakan perahu kecil dan disambut hangat oleh Kepala Dusun Atateitei, Dusun Matobat dan Dusun Tiop, karena letak ketiga dusun berdekatan.
"Kami berenam orang dalam satu kelompok dipisah untuk tempat tinggal (1 orang 1 rumah), dan saya dapat di rumah bapa Fransiscus dan ibu Carolinadi, rumah paling ujung yang arah rumahnya ke dusun seberang," ujarnya.Beruntung, ujarnya, saat ia datang sedang ada pemasangan listrik di dusun tersebut, sehingga masalah kelistrikan diatasi.
Di minggu pertama ia dan teman-temannya dikenalkan oleh masyarakat di dusun untuk membahas program kerja selama di sini.
"Program kerja kami membuat suatu produk makanan atau benda benda yang khas daerah tersebut.
Kami membuat sirup kojo dan serundeng kami membuat produk ini karena di tempat ini memiliki banyak buah kojo yang tidak mereka produksi dan kami juga membuat serundeng karena disini banyak kelapa," papar dia.
Nelly mengaku selama satu bulan ini hidup di masyarakat Mentawai, senang dengan budaya yang ada.
"Salah satu yang sangat berkesan adalah kegiatan umum seperti olahraga bersama di lapangan setiap hari dan gotong royong yang kemungkinan jarang ditemui di perkotaan," paparnya.
Nelly berharap di perkotaan masih ada budaya kegiatan di ruang publik secara rutin dan tergerak bila ada kegiatan gotong royong.
Menurutnya, masyarakar Mentawai kebanyakan berprofesi sebagai petani dan nelayan.
Namun ada sebagian bekerja di resort karena di Mentawai memang terkenal dengan keindahan alam serta ombaknya.
"Saya rindu momen berbagi kebahagiaan di sana, mengajar di TK dan SD, sapaan ramah masyarakat, ajakan makan dari tetangga, hingga sulitnya membaca bacaan doa dengan bahasa Mentawai."
"Satu yang pasti bahwa hidup harus terus maju, semua yang saya rasakan tentang kerasnya perjuangan untuk hidup, untuk terus selalu bersyukur apapun yang di dapat," ungkap dia.