Elisabeth Setyawan merupakan wisudawati terbaik dari program studi Magister Profesi Psikologi pada wisuda periode April 2019 dengan IPK 3,63. Gadis yang lahir pada 26 Maret 1991 di Sukoharjo ini merupakan alumnus Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata yang lulus pada tahun 2013.
Sebelum melanjutkan studi Magisteriatnya, Lisa –sapaan akrab Elisabeth Setyawan- terjun terlebih dahulu ke dunia kerja. Putri dari Bapak Deny Setyawan ini sempat bekerja di beberapa tempat. “Setelah lulus aku bekerja pada bagian HRD di Semarang. Kemudian aku pindah ke Solo. Ketika di Solo ini aku awalnya ditawari di bagian Sekretaris Direksi. Namun aku merasa bahwa itu bukan bidangku dan bertanya apakah ada lowongan kosong di bagian direksi. Puji Tuhan ada dan aku masuk di bagian training.,” tutur Lisa. Ketika ditanya mengapa pindah ke Solo, Lisa menuturkan bahwa bekerja di Solo lebih dekat dengan rumah sehingga lebih mempermudah segala sesuatunya.
Setelah bekerja selama setahun, ada dorongan dalam diri Lisa untuk melanjutkan studinya. “Lalu aku ngomong ke orang tuaku mengenai keinginanku dan orang tuaku pun setuju,” jawab Lisa. Ketika itu ada sedikit hambatan ketika Lisa ingin resign dari pekerjaan. Ia sempat ditahan resign waktu itu. Maklum, mereka yang memiliki dasar studi Psikologi jarang ada di tempat kerja Lisa itu. Namun akhirnya permohonan Lisa pun diluluskan dan ia pun memulai babak lain dalam kehidupannya.
Memasuki masa studi Magisteriatnya, Lisa mengambil spesialisasi Klinis Dewasa. Ia menuturkan bahwa tidak ada kesulitan yang berarti ketika melakukan proses belajar mengajar. “Dibandingkan dengan S1, belajar di S2 cenderung lebih mudah dan ringan,” sebutnya. Bagian paling menarik menurutnya ialah ketika melakukan PKPP atau Praktek Kerja Profesi Psikologi. “Praktek Kerja Profesi Psikologi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Psikolog. PKPP ini kita diwajibkan untuk pergi ke rumah sakit umum, rumah sakit jiwa, dan panti wredha yang sudah ditentukan oleh fakultas,” tutur Lisa. Bagi Lisa PKPP ini susah-susah gampang. “Pengalaman susah sempat kurasakan misalnya ketika menangani klien yang mengalami Skizofernia. Tapi ada kebahagiaan sendiri ketika mendengarkan klien dan mereka merasa terbantu,” sebutnya. Selain itu, Lisa juga menyebutkan bahwa PKPP ini membutuhkan ketekunan sebab setiap hari ia harus datang ke tempat praktek kemudian mendengarkan sambil mengobservasi klien. Pulangnya masih harus mengerjakan laporan. “Sehingga kalau tidak tekun dan menumpuk verbatim akan kesusahan sendiri,” tambahnya.
Rampung dengan PKPP, alumnus Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata ini masuk ke tahap pembuatan tesis. Ia mengangkat judul ‘Hubungan antara Koping Religius Positif dan Penerimaan Diri dengan Depresi pada Lansia yang Tinggal di Panti Wredha’. Ia pun menjelaskan bahwa ada keinginan untuk membantu para lansia yang tinggal di panti wredha yang belum menerima dirinya sepenuhnya. “Jadi mereka yang tinggal di panti wredha itu kadang belum bisa menerima keadaan dirinya, terutama di masa tua ini. Penerimaan diri itu termasuk di dalamnya seperti menerima suami yang sudah meninggal, anak yang sudah memiliki kehidupannya sendiri, dsb. Karena tidak menerima keadaan dirinya itu kemudian mereka depresi. Nah aku mau membantu mereka supaya bisa menerima dirinya di masa senjanya dan akhirnya tidak depresi lagi,” tuturnya.
Gadis asal Sukoharjo ini pun bersyukur bahwa ia diterima dengan baik di panti wredha di Solo yang menjadi tempat penelitiannya. “Mereka senang banget aku ada di sana dan dengan hangat menyambutku karena memang di sana kurang adanya psikolog,” tambahnya. Dalam membantu mereka itu, Lisa menggunakan metode koping religius positif. Maksudnya ialah dengan kedekatan mereka pada Tuhan, mereka terbantu untuk dapat menerima keadaannya itu dan mampu bersyukur atas semuanya itu. “Tapi ini berbeda dengan religiusitas. Religiusitas lebih fokus pada frekuensi beribadah. Tapi koping religius positif menitikberatkan pada kedekatan personal antara pribadi dengan Tuhan yang membuat mereka mampu menerima keadaan yang dihadapi,” jelasnya.
Dalam proses pembuatan tesisnya, Lisa menuturkan bahwa kesulitan ia alami ada di bagian awal. “Waktu itu salah satu skala yang kupakai dirasa terlalu mainstream oleh dosen pembimbingku. Dosen itu berkata kalau tidak mau mengganti skala itu, aku harus cari dosen pembimbing lain. Mau gak mau aku pun harus ganti skala itu, padahal waktu itu aku sudah buat sampai bab 3,” katanya. Sempat ada rasa malas dalam diri Lisa ketika harus mengganti skala itu, seolah-olah usahanya sebelumnya menjadi hampa. Namun itu tidak memupus semangat Lisa, sebab ia menargetkan untuk lulus pada tahun 2018 lalu. “Sempet males buatnya waktu itu, tapi aku ingat kalau aku mau lulus tahun 2018 juga. Itu yang mendorong aku untuk segera bangkit dan mengerjakan lagi,” sambutnya. Setelah itu pun Lisa ngebut dan akhirnya usahanya pun berhasil. Ia lulus di tahun 2018 dan akan diwisuda pada bulan April 2019.
Akhirnya ketika ditanya mengenai harapan ke depan, Lisa pun bertutur bahwa ingin membuka praktek sendiri. “Aku mulai merasa ada feel berbeda ketika aku memberikan psikotes kepada karyawan baru. Ketika memberikan tes itu aku merasa feel-ku dapet banget. Itulah yang mendorongku juga untuk meneruskan studi ke Magisteriat dan akhirnya ingin buka praktek sendiri,” jawabnya. Namun ia tidak menutup kemungkinan untuk bekerja di perusahaan lagi. “Ya yang namanya hidup, tidak ada yang pasti. Tapi untuk sekarang aku ingin ke arah itu,” sambungnya. “Yang paling penting adalah usaha, sebab dari situlah ada hasil yang diperoleh,” tutupnya. (ffi)
Serah Terima Jabatan Ormawa FHK SCU
Fakultas Hukum dan Komunikasi (FHK) Soegijapranata Catholic University (SCU) melaksanakan Serah