Oleh: Aloys Budi Purnomo
MERENUNGKAN Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-74 yang mengusung tema "Menuju Indonesia Unggul", mari kita memerhatikan aspek kemerdekaan ekologis (semesta), yakni saling keterkaitan antara sesama manusia dan semesta alam di bumi ini.
Dewasa ini, bumi kita sedang mengalami kehancuran dalam berbagai aspeknya. Tanah, air, udara, dan semesta kita sedang nestapa dan merana karena manusia yang serakah dan rakus mengeksploitasi bumi, rumah kita bersama. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa bumi kita sedang terus-menerus terjajah, tertindas, dan terperkosa oleh semangat mengeruk keuntungan sesaat, hingga mengabaikan keberlangsungannya bagi generasi mendatang.
Dalam konteks inilah, memperjuangkan kemerdekaan ekologis menjadi penting. Kemerdekaan tak hanya terkait dengan suatu bangsa yang terbebas dari belenggu kolonialisme, tetapi juga erat dengan kehidupan bersama yang saling tergantung antara sesama manusia dan semesta alam. Memperjuangkan kemerdekaan ekologis berarti berjuang untuk membangun sikap ramah pada bumi demi menjaga keutuhan ciptaan dan kelestarian lingkungan hidup.
Apa urgensinya memperjuangkan kemerdekaan ekologis, khususnya dalam menjaga, merawat dan memulihkan alam semesta? Merusak alam itu sama dengan merusak kemanusiaan! K.H. Abdurrahman Wahid, dalam dialognya dengan Daisaku Ikeda (Dialog Peradaban, Kompas-Gramedia, 2010:12,83) memberikan inspirasi pentingnya memperjuangkan kemerdekaan ekologis. Presiden lV RI tersebut mengatakan bahwa merusak alam sama dengan merusak kemanusiaan. Tuhan telah menganugerahkan alam secara keseluruhan kepada umat manusia supaya kita menggunakannya sebaik mungkin. Maka, bila manusia tidak berbuat apa-apa terhadap alam, hal itu sama dengan merusak alam.
Memperjuangkan kemerdekaan ekologis dalam tingkat akar rumput terungkap dan terwujudkan melalui perjuangan bersama dan menghargai para petani dan nelayan. Gus Dur – sapaan akrab K.H. Abdurrahman Wahid – mengatakan bahwa hidup mensyukuri anugerah alam, terutama hasil-hasil pertanian, bagi kebanyakan bangsa Indonesia merupakan tradisi yang sudah berurat dan berakar. Sampai sekarang ini dan di masa mendatang, di Indonesia, mata pencaharian separuh dari seluruh penduduk adalah pertanian, perikanan dan kehutanan.
Pernyataan Gus Dur tersebut diapresiasi oleh Daisaku Ikeda yang bahkan mengangkat satu fakta yang mungkin banyak di antara kita tidak tahu apalagi menyadarinya dengan bangga. Menurut Ikeda, bangsa dan orang Jepang mendapat karunia atau limpahan hasil pertanian yang besar dari negara Indonesia. Diakui dengan jujur, bahwa pertanian Indonesia pernah menyelamatkan jiwa masyarakat Jepang saat sedang mengalami kesulitan pangan dan kelaparan karena paceklik.
Dalam kondisi itu, kentang dari para petani Indonesia telah menyelamatkan jiwa masyarakat dan bangsa Jepang. Itulah sebabnya, kentang dalam bahasa Jepang disebut jagaimo, yang merupakan singkatan dari Jakarta no imo, yakni ubi dari Jakarta alias kentang.
Dari fakta itulah, maka, dari sektor pertanian, yang merupakan salah satu basis akar rumput ekologi Nusantara, sudah terjadi interaksi dan interkoneksi yang melampaui batas negara dan budaya. Bahkan, pertanian, telah menyuburkan dan menumbuhkan jiwa dan kemuliaan kemanusiaan. Maka, merusak alam, khususnya lahan-lahan alam semesta di sektor pertanian, adalah sama dengan merusak dan menghina kemanusiaan!
Ini baru salah satu kasus yang menjadi alasan pentingnya memperjuangkan kemerdekaan ekologis. Perjuangan demi kemerdekaan ekologis dan semesta alam pada gilirannya merupakan upaya untuk menjaga keutuhan ciptaan dan kelestarian lingkuligan hidup. Dalam perjuangan itu juga terkandung makna memuliakan martabat kemanusiaan.
Belajar dari kearifan religius Budhisme Nichiten, kita bisa menemukan spirit perjuangan ekologis dalam konteks berbangsa. Sebagaimana dikutip Daikasu Ikeda, "Raja memandang masyarakatnya sebagai orang tuanya sendiri, masyarakat memandang makanan sebagai sorga." Maknanya, fondasi Negara adalah rakyat yang dalam diri para petani menyediakan pangan sebagai penopang kehidupan.
Barangkali, kritik Daikasu Ikeda ini bisa menjadi spirit kita pula dalam memperjuangkan kemerdekaan ekologis. Pertanian adalah induk budaya, sumber kebijaksanaan dan kebersamaan dengan alam semesta. Bangsa yang tidak menghormati budaya pertanian akan menjadi bangsa yang brutal dan kasar terhadap jiwa sesama manusia. Maka, jangan pernah menyerah berjuang bersama petani demi kemerdekaan ekologis kita agar bangsa ini bisa menjadi bangsa yang maju dan unggul. (*)
___________
Aloys Budi Purnomo, Anggota The Soegijapranata, Mahasiswa Program Ilmu Lingkungan Unika Soegijapranata
►Tribun Jateng 21 Agustus 2019, https://jateng.tribunnews.com/2019/08/21/opini-aloys-budi-purnomo-memperjuangkan-kemerdekaan-semesta