Pemprov Jateng perlu melakukan konsolidasi lebih dalam lagi untuk mengkaji berbagai faktor pendorong pertumbuhan ekonomi 7% pada 2023. Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Unika Soegijapranata Prof Andreas Lako mengungkapkan kajian juga mencakup prioritas selama ini, sudah tepat atau belum mengingat berdasarkan analisis sejumlah indikator 20 tahun terakhir akan sulit tercapai.
”Jangan sampai demi angka 7% pertumbuhan menjadi tidak berkualitas dan muncul gejolak serta kesenjangan sosial. Investasi di sektor pertambangan sebaiknya dihindari, karena banyak alih fungsi lahan dan menimbulkan dampak lingkungan.
Masih ada waktu untuk konsolidasi memperkuat target itu, termasuk bagaimana mendorong CSR (corporate social responsibility) agar memberi banyak manfaat,” ujar dia dalam sesi diskusi bertema ”Membangun Literasi Data Statistik di Era Digital” di Semarang, kemarin. Acara dihadiri Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Jateng Sentot Bangun Widoyono, Wakil Pemimpin Redaksi Suara Merdeka Triyanto Triwikromo, serta jurnalis media cetak dan elektronik.
Trend pertumbuhan ekonomi Jateng terus naik. Data BPS Jateng menunjukkan triwulan III- 2019 tumbuh 5,66% dan 2020 diperkirakan lebih tinggi lagi.
Dari sisi produksi, terdorong oleh ekspansi hampir semua lapangan usaha dengan pertumbuhan tertinggi penyediaan akomodasi dan makan minum sebesar 18,84%. Berdasarkan struktur ekonomi, produksi didominasi oleh Industri pengolahan 33,88%, sedangkan pengeluaran oleh komponen Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (PKRT) 59,09%.
Menurut Lako, industri pengolahan yang dominan di Kabupaten Kudus, Cilacap, dan Kota Semarang berkembang baik. Sektor pariwisata yang digadang-gadang berkontribusi tinggi ternyata masih kecil. Kepala BPS Jateng Sentot B Widoyono menjelaskan literasi data sudah dilakukan ke instansi terkait melalui program statistical coaching clinic.
Pertumbuhan ekonomi yang salah satunya disumbang investasi diharapkan juga berasal dari investasi berkelanjutan. ”Bisa saja investasi menyumbang pertumbuhan, tetapi tidak sustainable (berkelanjutan) sehingga harus dipilih betul yang berkualitas,” ungkap dia.
Sektor pariwisata yang diharapkan bisa mengakselerasi pertumbuhan perlu dikaji lebih dalam, mana yang didahulukan. Metodologi statistik pariwisata masih menjadi diskusi di tingkat internasional, karena dinilai memberikan kontribusi besar. ”Kalau pemerintah mengembangkan destinasi superprioritas, seperti apa dulu yang akan didorong, bagaimana skenarionya.
Ini masih harus kita diteliti, dikaji, dan dipelajari lebih dalam,” imbuh dia. Triyanto Triwikromo menyatakan jurnalis mesti bersikap skeptis dan melihat makna di balik angka-angka yang disajikan BPS secara cermat.
Jurnalisme data dan presisi sangat penting untuk memberikan pemahaman kepada pembacanya mengenai indikator yang dibahas. Menghadapi keberlimpahan data pada era sekarang, jurnalis perlu memilah, menggali informasi, serta menganalisis.
”Kalau hanya mengejar kecepatan, itu malapetaka. Seharusnya, selain cepat, mendalam dan bersandar pada presisi. Pertumbuhan ekonomi, misalnya, bukan sekadar angka, melainkan sesuatu yang berkait dengan kondisi sosial budaya. Jurnalis harus mampu memaknakan angka-angka yang tersaji,” tandas dia.
►Suara Merdeka 22 November 2019, https://www.suaramerdeka.com/smcetak/baca/207723/kaji-lagi-faktor-pendorong-pertumbuhan