Kementrian Perindustrian (Kemenperin) meminta Kementrian Perhubungan (Kemenhub) untuk menunda pemberlakuan kebijakan bebas angkutan kelebihan muatan dan dimensi berlebih, atau Zero Over Dimension dan Over Loading (ODOL). Kemenperin meminta kebijakan yang seharusnya berlaku 2021 tersebut diundur hingga 2023-2025.
Kemenperin menganggap industri membutuhkan waktu untuk menyesuaikan dengan peraturan bebas angkutan ODOL. Selain itu, kebijakan ini dianggap dapat menurunkan daya saing industri nasional.
Menanggapi hal tersebut, pengamat transportasi Universitas Katolik Soegijapranata (Unika) Semarang Djoko Setijowarno mengatakan, Kemenhub seharusnya tetap berpegang pada pendiriannya. Selain karena proses perumusannya yang sudah memakan waktu hingga empat tahun, kebijakan ini juga demi mengurangi angka kerusakan jalan dan kecelakaan.
"Kemenhub harus tetap pada tekadnya untuk menjadikan 2021 bebas angkutan ODOL. Jadi tidak usah banyak pertimbangan lagi," ujarnya saat on air di Radio PRFM 107,5 News Channel, Jumat (10/1/2020).
Dijelaskan Djoko, selama ini anggaran perbaikan jalan sudah memakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terlalu banyak. Padahal anggaran tersebut seharusnya bisa dialihkan ke sektor lain seperti infrastruktur.
"Kerusakan jalan menyebabkan APBN itu tekornya banyak. Biaya pemeliharaannya jadi dua kali lipat. Kan sayang uang negara itu triliunan untuk jalan saja. Lebih baik untuk infrastruktur lainnya," jelas Djoko.
Meski demikian, Djoko menganggap Kemenhub tetap perlu untuk memberi alternatif lain untuk mengatasi permasalahan angkutan ODOL. Di antaranya adalah dengan memanfaatkan jalur pengiriman via laut dan kereta api.
"Tidak harus lewat darat kok, masih bisa lewat jalur kereta dan jalur laut masih bisa. Itu yang perlu dikembangkan. Makanya Kemenhub harus memberi alternatif untuk jalur kereta dan laut," pungkasnya.
►http://prfmnews.com/berita.php?detail=pengamat-imbau-kemenhub-tetap-berlakukan-zero-odol-2021