Rencana Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang membangun trem atau kereta dengan rel khusus di jalur kota mengundang reaksi pengamat transportasi dari Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata, Djoko Setijowarno.
Pria yang juga menjabat sebagai Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) itu menilai rencana Pemkot Semarang itu sulit terwujud. Ada beberapa alasan yang menurut Djoko, membuat hal itu sulit terealisasi, salah satunya adalah biaya.
“Jujur saja, menurut saya itu [pembangunan trem] sulit terwujud. Anggarannya dari mana?” ujar Djoko saat dihubungi Semarangpos.com, Senin (27/1/2020).
Sebelumnya, Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi, menyebut telah menjalin komunikasi dengan PT Kereta Api Indonesia (KAI) tentang pembangunan trem di kotanya. Wali kota yang karib disapa Hendi itu bahkan menyebut PT KAI sudah setuju dan siap membiaya pembangunan trem tersebut.
Meski demikian, Djoko menepis kabar itu. Informasi yang diperolehnya, PT KAI tidak menganggarkan pembangunan trem di Semarang.
“PT KAI itu operator, tugasnya bukan membangun. Mereka membangun yang sifatnya urgent, seperti penambahan 4 jalur kereta di Jawa Barat dan ART [Autonomous Rail Transit] di Bali. Setahu saya enggak ada trem Semarang,” jelas Djoko.
Selain itu, sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) No.79/2019 tentang Pecepatan Pertumbuhan Ekonomi di Jawa Tengah (Jateng) tidak disebutkan tentang pembangunan trem di Semarang. Dalam Perpres itu justru disebut tentang pembangunan KA Comuter Kedungsepur. “Jadi, belum dianggarkan APBN. Luar Jawa juga masih butuh, kalau Semarang terus nanti pada iri,” tegasnya.
Djoko mengatakan untuk membangun sebuah jalur kereta, apalagi di dalam kota, biaya yang dibutuhkan sangat tinggi. Untuk satu kilometer rel, biaya yang dikeluarkan bisa mencapai Rp20-30 miliar.
“Contoh di Solo, pembangunan rel kereta api Bandara Adi Soemarmo dengan Stasiun Balapan itu subsidinya mencapai Rp60 miliar/tahun. Itu permintaannya banyak. Nah, kalau trem Semarang, demand-nya dari mana. Sudah ada FS [feasibility study/sudi kelayakan] belum?” tuturnya.
Selain persoalan anggaran, Djoko menilai masih banyak hal lain juga harus dipenuhi Semarang untuk membangun lagi jalur trem. Salah satunya adalah ketertiban berlalu lintas warga Kota Semarang yang dinilai masih buruk.
“Beda sama di Eropa yang enggak banyak sepeda motor, di sini kan banyak. Enggak ada trem saja sering kecelakaan apalagi ada trem yang pembangunan relnya sebidang dengan jalan raya,” imbuhnya.
Joko mengatakan Pemkot Semarang seharusnya lebih memaksimalkan potensi bus rapid transit (BRT) daripada memikirkan pembangunan trem. Apalagi, saat ini pengguna BRT masih belum banyak dan belum ada pembatasan penggunaan kendaraan pribadi.
berita terkait: