Oleh : Aloys Budi Purnomo Pr
"Pertobatan ekologis menyiratkan berbagai sikap bersama demi menumbuhkan semangat perlindungan yang murah hati dan penuh kelembutan terhadap sesama dan semesta. Alam semesta adalah anugerah, jangan dijarah. Hidup bersama adalah sukacita, jangan diubah menjadi nestapa"
HARI Rabu (26/2) umat Katolik sejagat memulai masa prapaskah 2020. Masa ini juga disebut masa pantang dan puasa, semacam Ramadan dalam tradisi agama Islam. Bedanya, masa prapaskah berlangsung selama 40 hari, terhitung sejak Rabu Abu hingga Sabtu Suci, sehari sebelum Hari Raya Paskah.
Kalau dihitung harinya, sejak Rabu Abu (26/2) hingga Sabtu Suci (12/4) memang sebanyak 46 hari. Namun, enam hari Minggu dalam masa itu, umat Katolik dibebaskan dari hari pantang dan puasa, sehingga genaplah 40 hari masa prapaskah.
Hari Minggu tidak diperhitungkan sebagai hari pantang dan puasa, sebab hari Minggu dirayakan sebagai Hari Tuhan, yang ditandai sukacita, bukan pantang dan puasa. Dalam tradisi Gereja/Agama Katolik, awal prapaskah ditandai dengan penerimaan abu di dahi, sebagai ekspresi pertobatan.
Sadarlah, manusia berasal dari tanah (abu, debu), dan akan kembali menjadi tanah (abu, debu), bertobatlah! Maka, disebutlah Rabu Abu sebagai hari pertama masa prapaskah yang akan berakhir pada hari Sabtu sebelum Paskah.
Minggu terakhir prapaskah disebut Pekan Suci dan termasuk Minggu Palma, yakni Kamis Putih atau Kamis Suci, Jumat Agung atau Jumat Suci, dan Sabtu Suci atau Sabtu Malam Paskah.
Aspek Sosial
Puasa dalam agama Katolik memiliki aspek sosial. Di Indonesia, hal ini ditandai dengan aksi puasa pembangunan (APP). Setiap keluarga menyediakan kotak APP.
Sejumlah finansial dari hasil pantang dan puasa dalam hal mengurangi aspek konsumtif dimasukkan ke dalam kotak APP yang di akhir masa prapaskah diakumlasi baik secara parokial, lokal maupun nasional. Akumulasi dana/finansial diintensikan untuk karitatif dan pemberdayaan kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difabel (KLMTD).
Namun yang lebih utama dari itu, selama masa prapaskah umat Katolik dengan cara yang lebih serius mempersiapkan dan merefleksikan sengsara, kematian dan pengorbanan Yesus. Puncaknya, pada akhir masa prapaskah adalah hari Minggu Paskah, sebagai hari raya kebangkitan Yesus.
Kemenangan atas hari-hari pantang dan puasa tidak didasarkan pada prestasi pribadi pengendalian diri baik secara jasmani maupun rohani, melainkan rasa syukur penebusan Kristus. Maka, masa pantang dan puasa dihayati terutama sebagai saat intensif untuk memperbarui relasi dengan Tuhan, sesama, dan semesta.
Masa prapaskah menjadi masa meningkatkan pertobatan jiwa dan raga. Berpuasa adalah cara menyangkal diri kita dari kehidupan yang berlebihan sehingga kita dapat lebih terbiasa dengan suara Tuhan.
Ini juga merupakan cara untuk mendisiplinkan diri, memperkuat “otot-otot spiritual” sehingga, tetap kuat ketika godaan muncul dalam hidup. Dengan pantang dan puasa, kita terbiasa mengatakan “tidak” pada keinginan pribadi yang tidak teratur.
Pertobatan Ekologis
Dewasa ini, dengan kondisi manusia berada dalam era krisis ekologi yang kian parah, aspek pertobatan pun harus ditandai dengan pertobatan ekologis.
Meminjam ajaran Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si’ (LS 217), era krisis ekologi merupakan panggilan untuk pertobatan batin yang mendalam. Yang dibutuhkan dalam situasi ini, dan itu mendesak, adalah, mewujudkan pertobatan ekologis. Banyak orang dewasa ini cenderung meremehkan ungkapan dan perwujudan kepedulian terhadap lingkungan.
Bahkan, tak sedikit yang apatis dan bersikap pasif dengan menganggap persoalan lingkungan sebagai business as usual. Mereka tidak mau mengubah kebiasaan buruk yang destruktif terhadap lingkungan alam semesta. Orientasinya adalah keuntungan tak peduli terhadap generasi mendatang akan menanggung kebuntungan.
Pertobatan ekologis menyiratkan berbagai sikap bersama demi menumbuhkan semangat perlindungan yang murah hati dan penuh kelembutan terhadap sesama dan semesta. Alam semesta adalah anugerah, jangan dijarah. Hidup bersama adalah sukacita, jangan diubah menjadi nestapa.
Maka, mewujudkan pertobatan ekologis berarti mau bertumbuh dalam sikap peduli pada semesta. Ikhlas menghayati sikap ugahari. Mampu bergembira meski dalam kekurangan. Menghargai hal-hal kecil dan membela kaum KLMTD.
Berterima kasih dan bersyukur atas anugerah Tuhan tanpa sikap lekat pada apa pun yang kita miliki maupun yang tidak kita miliki (LS 222). Dengan demikian, peradaban kasih ekologis pun menjadi peradaban kita bersama.
— Aloys Budi Purnomo Pr, Rohaniwan, Pastor Kepala Campus Ministry, Unika Soegijapranata Semarang.
►Suara Merdeka 26 Februari 2020 hal. 6, https://www.suaramerdeka.com/smcetak/baca/219200/mewujudkan-pertobatan-ekologis