Oleh: dr Indra Adi Susianto
" Paradigma kedokteran mengharuskan semua didasarkan pada bukti ilmiah terkini dan terpercaya. Artinya, buktibukti tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan, tidak saja secara ilmiah, medis, dan klinis, tetapi juga bermakna secara statistik. "
SAAT ini informasi dengan mudah dan cepat bergulir seakan semua kabar itu benar adanya. Hal ini dapat dirasakan di bidang kesehatan. Sekarang orang dengan mudah mencari informasi di dunia maya. Hanya dengan mengetik gejala yang dirasakan, langsung muncul diagnosis beserta terapi tanpa melihat keabsahan informasi tersebut. Pada era digital, banyak informasi tentang kesehatan yang tidak benar atau setengah benar bertebaran. Sepertinya dengan sengaja disebar oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Informasi kesehatan yang tidak benar ini sering kali justru menyebabkan berbagai masalah baru bahkan bisa berakibat lebih fatal.
Ada beberapa cara umum yang dapat digunakan untuk melawan hoaks tentang kesehatan. Pertama, mewaspadai judul provokatif. Berita dengan judul provokatif dapat menjadi indikasi ketidakbenaran informasinya. Sebaiknya carilah referensi berupa berita serupa yang benar lalu bandingkan kesamaan isinya. Kedua, perhatikan dari mana berita tersebut berasal dan narasumbernya. Ketiga, cermatilah perbedaan antara berita yang dibuat berdasarkan fakta dan opini.
Mengutip dari website resmi Kominfo, mesin pencari Google dan para pemain besar lainnya kini juga ikut memblokir iklan adsense untuk mengatasi merebaknya berita hoaks di dunia maya. Cara yang paling gampang dan menarik untuk menanyakan kebenaran akan suatu hal adalah dengan menggunakan mesin pencari secara langsung seperti Google dengan memasukkan kata kunci yang sesuai. Dalam hitungan detik, artikel yang diinginkan akan tersedia dengan mudah. Tetapi untuk mencari informasi yang valid di bidang kesehatan, masih harus berpijak pada ketentuan bukti (evidence) yang mampu memberikan kita informasi yang tepat dan sesuai.
Berdasarkan skema piramida bukti pada jurnal American College of Physicians pada November 2006 yang dimuat di https://acpjc.acponline. org/Content/145/3/issue/ACP JC-2006-145-3-A08.htm dapat disimpulkan, semakin tinggi posisinya, semakin berbobot sebuah artikel ilmiah. Sebaliknya, semakin di bawah posisinya, artikel itu semakin membutuhkan narasumber dan pembuktian yang lebih baik.
Evidence Base Medicine
Paradigma kedokteran mengharuskan semua didasarkan pada bukti ilmiah terkini dan terpercaya. Artinya, bukti-bukti tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan, tidak saja secara ilmiah, medis, dan klinis, tetapi juga bermakna secara statistik. Menurut Sackett et al (2000), evidence based medicine (EBM) adalah proses yang digunakan secara sistematik untuk melakukan evaluasi, menemukan, menelaah, dan memanfaatkan hasil studi sebagai dasar dari pengambilan keputusan klinik melalui suatu pendekatan medik yang didasarkan pada bukti-bukti ilmiah terkini memadukan antara kemampuan dan pengalaman klinik dengan bukti-bukti ilmiah terkini yang paling dapat dipercaya dari hasil meta-analisis, review sistematik, dan randomized double blind controlled clinical trial (RCT).
Informasi pada level paling rendah (level IV) adalah artikel yang merupakan pendapat atau opini ataupun pengalaman klinis dari pendapat ahli yang diakui, termasuk kebijakan-kebijakan atau peraturan pemerintah dan undangundang. Selanjutnya level III, artikel pada level ini digolongkan ke dalam artikel penelitian yang meneliti satu jenis variabel secara deskriptif, penelitian jenis kualitatif dan physiologic study. Studi yang digolongkan di sini adalah studi yang termasuk studi untuk menjelaskan sesuatu seperti fenomena atau keadaan atau kejadian. Selanjutnya level IIB merupakan sistematik review dari paling sedikit satu hasil penelitian dengan rancangan quasi-experimental. Pada level IIA didapatkan hasil dari satu uji klinik dengan pembanding tanpa randomisasi. Level IB merupakan bukti yang didapatkan dari minimal satu uji klinik acak dengan kontrol atau kelola (randomized control trail). Adapun level yang paling bisa diakui kebenarannya adalah level IA. Data yang didapat merupakan hasil meta-analisis atau sistematik review dari berbagai uji klinik acak dengan kontrol atau kelola (randomized control trail). Dengan adanya EBM, dipastikan informasi yang selalu diperbarui tidak hanya berupa diagnosis, tapi juga prognosis, terapi, pencegahan, promotif, dan rehabilitatif yang dibutuhkan dalam mendapatkan informasi yang benar.
Big Data Kesehatan
Dunia kesehatan saat ini telah berubah. Dulu diagnosis dilakukan berbasis tanda dan gejala yang dirasakan, saat ini sudah bergeser menggunakan basis pola. Pada masa mendatang, diagnosis penyakit akan dilakukan berbasis algoritma data sehingga akan menghasilkan apa yang disebut precision medicine. Perubahan inilah yang disebut perubahan era disrupsi dan tidak hanya terjadi di bidang kedokteran tetapi juga di bidang lain.
Pemerintah pada Juni 2019 telah mengeluarkan Perpres No 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia. Dengan adanya regulasi ini, semua data akan lebih standar, berkualitas, dan mudah dibagipakaikan. Perbaikan tata kelola data pun telah dilakukan, di antaranya adalah penataan regulasi dan kelembagaan, mewujudkan forum satu data Indonesia yang terstandar dan sinkron serta memastikan data mudah dibagi-pakaikan. Istilah satu data pada era revolusi industri 4.0 mendapat sebutan big data, karena informasi yang tersedia bersifat 3V, yaitu memiliki volume (jumlah yang besar), velocity (kecepatan arus informasi yang tinggi), dan variety (jenis data beragam). Dalam hal ini semua informasi dunia kesehatan pun tidak terlepas dari kondisi ini karena besarnya aliran pasien dari hari ke hari dengan segala variasi permasalahan yang memerlukan penangan segera.
Visualisasi ini juga dapat membantu semua pihak dalam menentukan prioritas pengembangan obat dan teknologi medis dengan melihat pola penggunaan obat dan kebutuhan pasien. Hal serupa dapat dimanfaatkan pemerintah sebagai sarana untuk kepentingan epidemiologis untuk membantu pembuatan kebijakan di bidang kesehatan. Jadi, bukan teknologi yang berpotensi mensubstitusi sumber daya manusia (SDM) dengan alat, tetapi teknologi yang membantu pencapaian dalam hal ini di bidang kesehatan yang lebih baik. (40)
—dr Indra Adi Susianto, Dekan Fakultas Kedokteran Unika Soegijapranta Semarang.
►https://www.suaramerdeka.com/news/opini/220395-informasi-kesehatan-pada-era-big-data, Suara Merdeka 5 Maret 2020 hal 6