Penyair termasyhur William Shakespeare pernah mengatakan,”Apalah arti sebuah nama?”. Namun bagi Fauzia Chafitsa Anggraini, persoalan tentang nama ini membawanya memperoleh predikat wisudawan terbaik Magister Profesi Psikologi. Judul thesis yang membawanya memperoleh predikat ini adalah ‘Metode Tracing Handwriting without Tears untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis Nama Panggilan pada Siswa TK B’.
“Ide awalnya karena saya memang menyukai anak-anak. Tapi inspirasi untuk membuat ini sebenarnya dilatar-belakangi pilihan studi saya waktu S1, yaitu psikologi klinis. Waktu itu saya melihat banyak ketidak-beresan perilaku pada masa dewasa yang akarnya terjadi pada masa kanak-kanak,” tutur pemilik nama panggilan Fitsa ini.
Ia kemudian menceritakan lebih lanjut,”Misalnya mengenai pemahaman berbahasa. Dasar pemahaman bahasa anak-anak salah satunya adalah pemahaman atas nama panggilan. Banyak anak bisa menulis nama panggilan masing-masing, tetapi sebenarnya ia tidak memahami makna huruf-huruf yang membentuknya.”
“Padahal memahami makna tulisan nama panggilan merupakan gerbang utama pemahaman fonologi,” jelasnya. Ia kemudian mengimbuhkan,”Apalagi tuntuntan sekolah saat ini semakin ketat. Syarat untuk memasuki SD (Sekolah Dasar) harus bisa calistung.”
Sebelum melanjutkan studi S2 pun dia sempat mendirikan rumah calistung (baca, tulis, dan berhitung) yang ia namai Amasera. Di rumah calistung-nya ini ia juga mengalami banyak hal menarik,”Wahhh… Anak-anak yang saya dampingi itu nakal-nakal. Saya pernah dipukuli, ditendang, diludahi, pokoknya macem-macem lah…”
Tetapi meskipun demikian, pada akhirnya banyak yang berhasil didampinginya. “Awalnya malah seperti semacam terapi gitu. Baru setelah si anak agak nggak bandel, mulai saya ajari calistung,” tuturnya sambil tertawa ketika diwawancara wartawan Kronik.
Soal pencapaiannya sebagai wisudawan terbaik ia menuturkan,”Sebenarnya saya nggak mengira bisa menjadi wisudawan terbaik. Bahkan saya tidak pernah memperhatikan nilai saya.”
“Yang saya kejar kan sebenarnya ilmunya,” imbuhnya. “Bahkan, dari dosen yang kalau di kelas cara mengajarnya membosankan pun kita bisa mencuri ilmunya,” sambung perempuan yang sudah berkeluarga ini.
Kemudian, demi semakin baiknya mutu pendidikan di Magister Profesi Psikologi ia menitip pesan,”Kalau di profesi kan sebenarnya kita butuh pemahaman mengenai kondisi nyata di lapangan. Soal teori bisa dipelajari sendiri. Nah, yang kami inginkan itu dosen banyak memberi kami pemahaman mengenai kondisi-kondisi yang nyata terjadi di masyarakat kita.” (TeoDomina)
DKV SCU Bicara Strategi Komunikasi Visual, Tekankan Pendekatan Etika dalam Proses Kreatif
Menggandeng PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE Express), Program Studi