KUP Berkah bagi UKM
”Akhirnya, keluhan, harapan dan doa dari para pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) selama ini terkabulkan oleh pemerintah via program Kredit Usaha Produktif atau KUP. Semoga KUP dapat menjadi jawaban dan berkah buat pelaku UMK…”
Demikian saya berguman dalam hati setelah membaca esensi program KUP. Saya lega karena keprihatinan dan kritikan-kritikan keras saya selama ini kepada pelaku perbankan bahwa penyebab UMKM Jateng kurang berkembang pesat karena dijerat dan dimiskinkan oleh bunga kredit perbankan yang sangat tinggi dan bahkan jauh lebih tinggi dari bunga kredit kepada perusahaan sepertinya terjawab sudah melalui KUP.
Saya berkesimpulan begitu karena dari sejumlah pemberitaan media massa dijelaskan bahwa program KUP yang digagas Bupati Kudus Musthofa, dan telah disetujui Presiden Jokowi serta sedang diujicobakan di Kabupaten Kudus saat ini, sangat berbeda dengan sejumlah skim kredit sebelumnya yang sangat memberatkan pelaku UMKM.
Keistimewaan KUP adalah tidak mensyaratkan agunan dan memberikan bunga kredit yang sangat rendah yaitu hanya 0,9 persen per bulan atau 6 persen per tahun kepada UMK. KUP juga mengutamakan pendampingan secara profesional terhadap UKM. Apabila uji coba di Kabupaten Kudus berhasil maka KUP akan dipertimbangkan untuk diterapkan di seluruh Tanah Air.
Saya ”terpaksa” mencermati KUP karena diminta Forum Wartawan Pemprov dan DPRD Jawa Tengah untuk menjadi pembicara dalam seminar nasional ”Peran Kredit Usaha Produktif (KUP) dalam Memperbesar Tumbuh Kembang UMKM” pada 2 April 2015. Bagi saya, seminar ini sangat penting dan strategis karena menghadirkan Bupati Kudus Musthofa, sebagai penggagas KUP, Dirut Bank Jateng yang menjadi mitra pelaksana KUP, Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian Koperasi dan UKM, dan pelaku UMKM penerima KUP sebagai pembicara. Itu sebabnya, saya membatalkan kehadiran saya dalam rapat penting di Kementerian Perindustrian pada tanggal yang sama.
Dalam seminar, Bupati Kudus menjelaskan, selain membebaskan pelaku UKM dari jaminan kredit dan memberikan kredit dengan bunga yang rendah, para pelaku UMK juga akan didampingi para pendamping terlatih dalam pengembangan usaha. Selain itu, keberadaan KUP diharapkan akan turut mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan pelaku UKM.
Catatan Kritis
Untuk mewujudkan tujuan itu, tata kelola KUP juga sudah disiapkan. Pertama, KUP hanya diberikan kepada masyarakat yang memiliki kekayaan paling banyak Rp 50 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat tinggal; serta memiliki omzet paling banyak Rp 300 juta per tahun. KUP diberikan kepada masyarakat yang telah memiliki usaha mikro dan kecil (UMK) produktif yang bergerak dalam bidang industri, perdagangan, jasa, pertanian dan lainnya namun sulit mendapatkan akses kredit dari perbankan.
Kedua, jumlah pinjaman KUP berkisar antara Rp5 juta hingga Rp20 juta tergantung pada kategori kartu KUP yang dipegang pelaku UMK. Ada empat kategori kartu KUP meliputi kartu merah dengan plafon pinjaman maksimal Rp 5 juta, kartu biru maksimal pinjaman Rp 10 juta, kartu hijau maksimal pinjaman Rp15 juta, dan kartu silver maksimal Rp 20 juta. Jangka waktu pinjaman maksimal 36 bulan. Untuk menghindari data fiktif dan kredit macet, kepala desa, camat hingga SKPD terkait dilibatkan dalam pengecekan data, pemantauan dan pembinaan terhadap pelaku UMK penerima KUP.
Ketiga, pembiayaan kredit untuk program KUP bukan berasal dari APBN/APBD, tapi dari bank daerah atau bank pemerintah yang menjangkau seluruh pelosok daerah. Untuk pilot project di Kabupaten Kudus, Bank Jateng menjadi pelaksananya. Pembiayaanya juga dijamin melalui Penjaminan Kredit Daerah (Jamkrida). Karena itu, ada risk sharing antara perbankan dan perusahaan penjamin kredit yaitu 15 dan 85 persen. Peran Pemda adalah sebagai penggagas dan penyedia data pelaku UMK yang layak diberi kredit.
Dengan skema pembiayaan seperti itu maka KUP adalah murni pendekatan business to business (B to B). Itu berarti, mindset para penerima KUP harus berubah. Dana pinjaman lunak yang diperoleh melalui KUP harus sungguh-sungguh digunakan pelaku UMK untuk meningkatkan modal kerja atau memperbesar usahanya. Pelaku UMK juga harus membayar bunga dan cicilannya secara rutin.
Keempat, untuk memastikan dana KUP dikelola dan digunakan secara efektif untuk menumbuhkembangkan UMK, maka setiap UMK penerima KUP akan didampingi oleh para pendamping yang kompeten. Peran dari para pendamping adalah mengarahkan, memonitor, mengevaluasi dan melaporkan kinerja UMK kepada pemerintah dan pihak pemberi pinjaman.
Meskipun menyambut gembira skim KUP yang digagas Bupati Kudus Musthofa, namun ada beberapa catatan kritis yang perlu saya sampaikan. Pertama, terkait kualifikasi pendamping UMK. Siapakah yang berwewenang menyiapkan tenaga pendamping terlatih? Apakah Pemda atau pihak bank yang ditugasi memberi KUP?
Dalam tata kelola yang dipaparkan, terlihat Pemda-lah yang menyiapkannya.
Namun, saya menilai hal itu bisa berpotensi jadi problem serius dalam koordinasi dengan Bank Jateng selaku pemberi kredit. Apabila ada pelaku UMK gagal dalam melaksanakan kewajibannya, pihak Bank Jateng dan Jamkrida bisa menyalahkan pendampingan yang dilakukan Pemda Kudus.
Karena itu, pendampingan UMK sebaiknya dilakukan secara bersama-sama. Pemda Kudus dan Bank Jateng perlu membentuk unit khusus pendampingan KUP, lalu mendidik dan melatih para pendamping yang memiliki kualifikasi khusus untuk menjadi pendamping yang profesional. Kode etik dan kewenangan para pendamping juga harus jelas.
Kedua, terkait skim KUP yang hanya menyasar pelaku UMK. Fokus KUP yang hanya menyasar pelaku UMK terasa tidak adil dan diskriminatif terhadap pelaku usaha menengah (UM). Alasannya, permasalahan kesulitan mendapatkan akses pendanaan dari perbankan dengan bunga yang rendah dan tanpa jaminan juga dihadapi kebanyakan pelaku UM.
Saya mengusulkan skema agar KUP tidak hanya menyasar kepada para pelaku UMK, tapi juga pelaku UM. Dengan kata lain, skim KUP harus menyasar kepada para pelaku UMKM secara keseluruhan. Hal tersebut tentu akan membawa dampak-dampak positif yang sangat luas bagi kemajuan UMKM dan perekonomian Jateng, serta peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi bagi masyarakat luas. (81)
— Andreas Lako, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis; Kepala LPPM Unika Soegijapranata
Sumber : berita.suaramerdeka.com