Seseorang yang mengalami kesurupan harus ditangani secara tepat dan ilmiah. Penanganan oleh ‘orang pintar’ secara kasar atau pembacaan doa yang kurang tepat justru bisa memperburuk kesurupan.
Hal ini diungkapan pengajar ilmu psikologi Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Siswanto. “Secara ilmiah, gangguan kesurupan murni diesbut dissociative identity disorder (DID) atau kepribadian majemuk. Pemakaian obat tidak efektif karena sifatnya sementara dan dapat sembuh sendiri. Kalau penanganan salah, (pulihnya) malah lama,” tutur Siswanto kepada Gatra.com, Senin (15/6).
Disertasi ‘Konstruksi Keyakinan Agama Personal pada Individu yang Pernah Mengalami Gangguan Kesurupan’ mengantarkan ia sebagai doktor di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, April lalu.
Ia menjelaskan, ada dua jenis kesurupan, yakni kesurupan yang dianggap bukan sebagai gangguan. Kondisi ini ditemui dalam ritual budaya dan agama seperti meditasi dan trance.
“Adapun kesurupan sebagai gangguan ada yang disebabkan karena gangguan mental dengan tanda depresi dan gangguan kesurupan murni yang muncul tiba-tiba,” tutur praktisi terapi psikologi sejak 2004 ini.
Pada kesurupan murni, emosi menguasai individu tersebut. Wujudnya teriak-teriak, mengucapkan bahasa lain, menyebut diri sebagai orang lain atau makhluk lain seperti binatang.
“Sering kali jenis kesurupan itu tidak bisa kita deteksi dan bedakan antara gangguna jiwa dan kesurupan karena adanya klaim-klaim keyakinan dan penangannya yang salah,” ujarnya.
Kondisi orang kesurupan tak lepas dari pengalaman, memori, dan trauma di masa lalu. Ia mencontohkan pengalamannya menangani seorang remaja yang kesurupan dan menirukan gerak ular.
Ternyata, ia memiliki trauma pada ular saat usia tiga tahun. “Saat itu bahasa dia belum terbentuk. Jadi saat hadapi traumatik, responnya beda,” ujarnya.
Siswanto menjelaskan seseorang yang kesurupan dikuasai oleh emosi dan perasaan negatif, seperti takut, duka, marah, atau benci. Menurut literatur dan pengalamannya kondisi ini dapat pulih sendiri.
Sayangnya masyarakat kerap menangani kesurupan lewat ‘orang pintar’ atau paranormal. Padahal penanganan tersebut kerap kurang tepat, seperti dibentak bahkan dipukul. “Kalau terus diperlukan dengan kasar, dia jadi semakin beringas. Kalau sakit, diyakini habis bertarung dengan roh jahat,” katanya.
Menurut Siswanto, jika kemudian upaya paranormal itu membuat si kesurupan tenang, hal itu hanya bentuk koinsiden. “Dua Kejadian yang muncul berdekatan lalu dianggap punya hubungan sebab akibat,” ujarnya.
Siswanto juga menjelaskan, bukan hanya individu, kesurupan massal juga harus ditangani secara tepat. Kondisi ini biasanya muncul pada siswa sekolah saat lelah fisik dan mental, seperti jelang ujian nasional.
“Selama ini masyarakat sebenarnya agak kurang tepat dalam menangani kesurupan massal. Mereka yang mengalami kesurupan menjadi fokus perhatian, sedangkan mereka yang sehat tidak kesurupan diabaikan,” tuturnya.
Padahal mereka yang tidak mengalami kesurupanharus menjadi perhatian supaya kesurupan tidak meluas. “Prinsip yang dipegang adalah membangun suasana yang gembira dan penuh semangat,” kata Siswanto.
Ia menuturkan doa yang sebenarnya ditujukan untuk memohon keselamatan agar tidak terjadi kesurupan justru dapat memicu kesurupan. “Oleh beberapa peserta doa justru membangkitkan ketakutan kembali, diartikan sebagai situasi tidak aman atau ada kondisi bahaya,” kata dia.
Oleh karena itu, Siswanto mengingatkan supaya berhati-hati menggunakan doa dengan memilih ayat dan bahasa yang tepat, menenangkan, dan memberikan imajinasi suasana aman karena dalam lindungan Tuhan.
“Peserta bisa diminta untuk menyanyikan lagu-lagu gembira untuk memunculkan suasana gembira. Baru setelah itu doa syukur untuk memberi kesadaran bahwa hidup mereka dilimpahi rahmat oleh Tuhan,” tuturnya.