Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unika Soegijapranata, yang sejak awal masa pandemi covid-19 telah menyelenggarakan diskusi serial yang dinamakan ‘Diskusi Rutin Bersama Hadapi Covid-19 oleh Unika’ atau disingkat “Di Rumah Unika”, saat ini memasuki serial yang ke-11, kali ini menghadirkan narasumber dari beberapa pusat studi di LPPM Unika.
Acara yang dipandu oleh Rotumiar Pasaribu MIKom pada Kamis (30/7) lalu, mengundang narasumber dari berbagai disiplin ilmu yang fokus menyoroti tema pandemi covid-19.
Para narasumber tersebut adalah Dr Angelika Riyandari dari Pusat Studi Wanita (PSW) dengan topik ‘From the Home Front’, kemudian Dr Christiana Retnaningsih dari Pusat Studi The Java Institute (TJI) yang lebih menyoroti ‘Tempe Koro di Jawa untuk Covid-19’.
Dan masih dari Pusat Studi The Java Institute (TJI) narasumber lain yaitu Dr Lindayani memaparkan tentang ‘Sadar sehat di Pulau Jawa Berkat Covid-19’. Serta dari PSEP (Pusat Studi Eko Permukiman) Dr Ir VG Sri Rejeki MT mengulik tentang “Bonus WFH- New Normal pad Masa Covid-19, Rumah Hijau Produktif Melalui Akuaponik”.
Dalam paparan yang diawali dengan materi Dr Angelika Riyandari menjelaskan situasi perasaan yang menyelimuti hati setiap orang pada awal pandemi covid-19 yang belum terjadi dan dihadapi oleh masyarakat sebelumnya, terutama oleh perempuan di Indonesia.
“Kita mengenal istilah home front dari kondisi Amerika saat awal perang dunia kedua. Saat itu para pria di Amerika banyak yang diterjunkan untuk menghadapi perang di Eropa dan Pasifik, sehingga suasana di Amerika saat itu dirasakan seperti di home front, karena para perempuannya didorong untuk ikut berjuang pada bidang di luar keahliannya yang biasanya mereka jalani semasa sebelum terjadi perang, ” papar Dr Angelika.
Diskurs yang sangat kuat tentang perang terhadap covid-19 juga dirasakan hampir sama dengan home front ala Amerika, yang tampak seperti yang dilakukan dan dirasakan oleh para perempuan di Indonesia terutama para ibu. Walaupun kondisi perbedaan gender sudah tidak seperti dulu, namun saat menghadapi pandemi covid-19, para wanita yang sebelum covid sudah banyak yang berkarya di luar rumah, tapi tiba-tiba saat terjadi pandemi covid-19, seperti ditarik kembali ke dalam rumah, terutama saat ada anjuran tinggal di rumah.
Seakan ada perasaan sedang dalam kondisi berperang, tetapi lebih pada berperang pada covid-19, dan bagaimana kita bisa survive menghadapinya, lanjutnya.
Peran rumah menjadi sangat sentral saat menghadapi PSBB dan pemerintah menganjurkan untuk tinggal, belajar dan bekerja di rumah guna menghentikan pandemi covid-19.
Seorang ibu dituntut untuk bisa berperan sebagai guru karena para murid harus belajar dari rumah serta mendapatkan pengawasan dan bimbingan. Selain itu seorang ibu juga harus pula bisa memenuhi kebutuhan domestik dalam rumah tangga seperti makanan dan minuman selama semua aktifitas harus dikerjakan dari dan di rumah sebagai akibat pandemi covid-19. Seorang ibu akhirnya juga menjadi financial support dan pelindung bagi keluarga supaya tidak terpapar covid-19, tandasnya.
Pada narasumber kedua, materi disampaikan oleh Dr Lindayani dari Pusat Studi TJI. “Ada beberapa kebiasaan baru untuk menjaga kesehatan kita disaat pandemi covid-19, yaitu menjemur diri pada sinar matahari pagi, kemudian kebiasaan mencuci tangan dengan air mengalir dan menggunakan sabun, penggunaan hand sanitizer, serta penggunaan masker untuk menghindari droplet,” ucapnya.
Kebiasaan baik yang muncul sejak mewabahnya virus covid-19 ini, menunjukkan tidak hanya efek negatif yang menjadi akibat covid-19, tetapi ada hal positif yang muncul dan merubah pola kehidupan dan lingkungan.
Sebab meskipun covid-19 ini banyak menimbulkan korban bahkan sampai meninggal dunia, namun karena pandemi covid-19 ini juga lingkungan alam seperti dipulihkan kembali dari pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh pabrik industri dan asap kendaraan yang berkurang di jalanan karena ada pembatasan untuk keluar rumah.
Hal positif lainnya adalah munculnya kesadaran untuk menjaga imunitas tubuh dengan konsumsi jamu dari rempah yang banyak ditemui di pulau Jawa terutama di Jawa Tengah.
Artinya dengan tubuh yang sehat maka terdapat jiwa yang sehat. Maka penting bagi kita di saat pandemi covid-19 ini untuk menjaga kesehatan jasmani dan mental sehingga dengan demikian rohani serta spiritual kita juga sehat sehingga akan meningkatkan imunitas tubuh, maka kita mempunyai daya tahan untuk melawan covid-19, lanjutnya.
Meski demikian kita juga harus menjaga diri kita dan orang di sekitar kita yang rentan terkena covid-19, terutama mereka yang berada di garda paling depan dalam memerangi covid-19 yaitu para medis, dengan berkata jujur tentang penyakit kita, supaya tidak membahayakan nyawa mereka dan tidak menimbulkan ledakan korban yang lebih banyak yang terpapar covid-19.
“Sudah sejak 23 Maret 2020 dilakukan penelitian dan ditemukan ada sekitar 20 vaksin untuk virus corona, sehingga diharapkan vaksin ini tahun depan mungkin sudah bisa benar-benar diterapkan pada manusia,” kata Dr Lindayani.
Sementara narasumber serial ke-11 yang lain yakni Dr Christiana Retnaningsih, mencoba untuk mempresentasikan inovasi produk olahan dari kacang koro yang dibuat tempe.
“Koro adalah bagian dari kacang-kacangan yang bisa dijadikan tempe karena dilihat dari nutrisinya pada koro itu juga relatif baik, mendekati kedelai,” jelas Dr Christiana.
Tempe merupakan makanan khas Jawa, hal tersebut dibuktikan dengan disebutnya kata kadele dalam serat Centhini yang ditulis oleh juru tulis keraton Surakarta yang bernama R Ng Ronggo Sutrasno pada tahun 1814.
Tempe dibuat dari kedelai atau kacang koro dengan kapang Rhizopus SP. Dan yang membedakan tempe dari kedelai dengan tempe koro adalah pada proses perendamannya, jika pada tempe koro itu perendamannya bisa antara 48 jam sampai dengan 72 jam sedangkan pada tempe kedelai hanya dibutuhkan waktu 8 jam sampai 12 jam saja.
Dalam tempe koro dibutuhkan perendaman cukup lama karena dalam koro mengandung asam sianida yang cukup tinggi, dan asam sianida adalah senyawa yang toxic, namun itu bisa direduksi atau dikurangi dengan adanya pemanasan kemudian juga perendaman.
Koro sendiri ada beberapa jenis antara lain koro benguk, koro glinding, koro pedang, koro gude, dan koro kecipir. Selain dibuat tempe, koro juga bisa dibuat kecap. Tempe bisa juga dikatakan sebagai sumber protein nabati yang murah harganya, kata Dr Christiana.
Dan dalam masa pandemi civid -19 ini, tempe koro bisa menjadi alternatif makanan yang di dalamnya terdapat asupan yang mengandung antioksidan yang cukup untuk mempertahankan imunitas, tegasnya.
Selanjutnya narasumber dari PSEP, Dr Ir VG Sri Rejeki MT, lebih banyak menerangkan tentang new nomal pada masa Covid-19, terkait dengan rumah hijau produktif melalui akuaponik.
“Dalam masa new normal yang masih banyak batasan kegiatan, maka akan banyak waktu luang di rumah, maka dari PSEP menawarkan kegiatan yang bermanfaat tapi tetap sehat,” tutur Dr Sri Rejeki.
Disamping itu juga murah dan memiliki bonus pendapatan baik dari cocok tanam maupun beternak. Maka muncullah akuaponik, yang tidak memerlukan ruang yang luas dan bisa menghasilkan dua manfaat maupun mengurangi stres, imbuhnya.
Dengan akuaponik maka bisa menjadi penyeimbang waktu, kemudian dalam rumah juga akan ada estetika tersendiri, serta lebih sehat.
Masa panen juga relatif tidak lama, terutama untuk jenis sayuran bahkan bisa satu bulan sudah bisa dipanen. Sedang untuk ikan seperti lele misalnya, hanya membutuhkan waktu satu sampai dengan tiga bulan sudah bisa dipanen, terangnya. (FAS)
DKV SCU Bicara Strategi Komunikasi Visual, Tekankan Pendekatan Etika dalam Proses Kreatif
Menggandeng PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE Express), Program Studi