Oleh: Dr Augustina Sulastri Psi, dosen Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata, anggota Tim Evaluasi Penanganan Covid-19 Jawa Tengah
" Ketika PSBB dilonggarkan selama bulan Juli 2020, program Jogo Tonggo terasa tidak lagi memiliki gigi. Karena itu dalam rapat evaluasi lanjutan tim Pemprov Jateng dan akademisi terhadap program Jogo Tonggo mengerucut berbagai gagasan untuk revitalisasi dan diversifikasi program Jogo Tonggo. "
MANUSIA adalah makhluk bergerak. Tuntutan bergerak itu tersimpan dalam memori otak manusia, terutama untuk survival (John Medina dalam Brain Rules, 2011). Perspektif evolusioner menyebutkan otak manusia menyimpan memori yang membuat tubuh dirancang untuk bergerak 19 kilometer (km) setiap hari. Kehidupan modern memang membuat kita seakan tidak banyak bergerak, namun sejatinya tubuh tetap menuntut bergerak.
Karena itu terkungkung selama berbulan-bulan pasti menimbulkan gejolak negatif dalam diri tiap manusia. Terjadinya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), bahkan adanya kasus pemerkosaan ayah terhadap anak, seperti yang dilaporkan oleh sukarelawan layanan psikologi Sehat Jiwa (Sejiwa) yang merupakan program konseling Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi), menjadi sinyal bahwa tekanan psikologis di masyarakat telah memberi dampak negatif dan destruktif. Masyarakat harus mulai diberi ruang bergerak bebas agar efek samping tekanan fisik dan psikologis teratasi. Solusi yang tepat pun harus segera dicari.
Dalam rapat evaluasi Penanganan Covid-19 di Jawa Tengah (Senin, 27 Juli 2020), Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo mengevaluasi salah satu program andalan Jateng, Jogo Tonggo. Diklaim oleh tim bahwa program Jogo Tonggo adalah menjadi salah satu program yang berhasil dilaksanakan pemerintah provinsi (pemprov) dan masyarakat Jateng saat menghadapi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tahap satu dengan program utama Jogo Tonggo: Kesehatan, Ekonomi, Sosial dan Keamanan, serta Hiburan.
Pada awal diluncurkan diakui muncul antusiasme warga Jateng dengan program Jogo Tonggo. Masyarakat bersama dengan pemerintah bersatu dan berjaga melawan Covid-19. Pilihan kata ”Jogo Tonggo” mampu mencerminkan kedigdayaan masyarakat yang berakar dari semangat yang sesuai dengan dimensi sosial dan budaya masyarakat Jateng: gayeng, guyub, dan gotong royong. Program ini pun dikenal secara nasional sebagai program berbasis kearifan lokal versi Jateng, bersanding dengan program Niskala dan Sekala yang dicanangkan Gubernur Bali. Namun pada kenyataannya, berdasarkan survei singkat yang dilakukan penulis, program Jogo Tonggo (JT) yang berhasil dilakukan dan dirasakan masyarakat adalah program bela rasa secara ekonomi (JT Ekonomi), dan jaga bersama lingkungan untuk membatasi akses keluar masuk warga saat pemberlakuan PSBB tahap satu (JT Keamanan).
Revitalisasi Jogo Tonggo
Ketika PSBB dilonggarkan selama bulan Juli 2020, program Jogo Tonggo terasa tidak lagi memiliki gigi. Karena itu dalam rapat evaluasi lanjutan tim Pemprov Jateng dan akademisi terhadap program Jogo Tonggo mengerucut berbagai gagasan untuk revitalisasi dan diversifikasi program Jogo Tonggo. Pertama, revitalisasi Jogo Tonggo harus dimulai dari spirit di dalam unsur kata yang digunakan. Tidak lagi cukup dengan istilah Jogo Tonggo, tetapi harus secara eksplisit mencerminkan semangat bersama-sama saling menjaga. Maka, perlu perluasan makna menjadi Jogo Tonggo ”Bareng”.
Kedua, perbaikan koordinasi antarlembaga pemerintah. Sejak awal program Jogo Tonggo tumpang tindih dengan program serupa lain, yaitu Relawan Desa yang dikeluarkan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Dilihat dari struktur organisasi, program Jogo Tonggo dan Relawan Desa potensial menimbulkan konflik dalam pelaksanannya. Program Jogo Tonggo dikepalai oleh unsur RT/RWsementara program Relawan Desa dikepalai oleh Kepala Desa. Di lapangan, terdapat konflik antarlembaga yang harus segera diatasi jika program Jogo Tonggo akan dilanjutkan.
Ketiga, perlu diversifikasi program Jogo Tonggo. Program ini semula hanya pada tingkat RT/RW sehingga terbatas kekuatan dan dampaknya. Selama bulan Juli 2020 muncul klaster-klaster penyebaran baru. Untuk itu perlu segera dilakukan diversifikasi program Jogo Tonggo menjadi JT Keluarga, JT Pasar, JT Kantor, JT Sekolah, JT Pabrik/Industri, JT Tempat Publik, serta JT Tempat Ibadah.
Keempat, perlu adanya program edukasi perubahan perilaku warga sesuai protokol kesehatan menghadapi pandemi Covid-19 yang dapat melekat pada masingmasing program Jogo Tonggo. Pemprov Jateng bersama-sama dengan tenaga ahli perlu segera merumuskan program-program intervensi perubahan perilaku warga agar lebih patuh terhadap protokol kesehatan.
Dengan mengingat keterbatasan kemampuan pemerintah pada aspek kesehatan, seperti meningkatkan jumlah rasio penduduk yang dites untuk analisis reproduksi efektif virus serta kemungkinan ketiadaan vaksin hingga akhir tahun, maka social engineering perubahan perilaku warga yang berbasis budaya dan kearifan lokal menjadi penting untuk segera direalisasikan. Untuk itu pemerintah perlu mengajak warga berperan aktif menjadi garda terdepan dalam masa pandemi ini. Salah satunya, bersama-sama menjaga semangat Jogo Tonggo. (46)
— Suara Merdeka 3 Agustus 2020 hal. 4 https://www.suaramerdeka.com/news/opini/236853-menjaga-semangat-jogo-tonggo