Oleh: Dr. Christin Wibhowo, Psikolog – Dosen Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata & konselor pernikahan
BEBERAPA waktu yang lalu tersiar kabar bahwa beberapa lulusan SMA yang sudah berusia 19 tahun berbondong-bondong meminta dispensasi menikah. Berita tersebut dengan cepat menjadi viral karena awalnya diduga para lulusan SMA itu belum cukup umur untuk menikah. Akan tetapi dijelaskan oleh pejabat setempat bahwa pemohon dispensasi nikah itu sudah cukup usia untuk menikah, yaitu di atas 19 tahun. Terkesan berbondong-bondong karena merupakan akumulasi dari bulan-bulan sebelumnya.
Terkait dengan usia, memang dalam UU No 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, disebutkan bahwa usia minimal untuk menikah bagi wanita dari semula 16 Tahun ( UU No.1 Tahun 1974) menjadi 19 tahun. Walaupun demikian bukan berarti syarat pernikahan hanya tentang usia.
Seorang tokoh psikologi perkembangan, bernama Robert Havighurst, menyampaikan tentang tugas perkembangan manusia. Seseorang akan merasa bahagia jika berhasil menyelesaikan tugas perkembangan sesuai usianya.
Sebagai contoh, usia 13-17 tahun disebut sebagai masa remaja. Tugas perkembangannya antara lain yaitu memiliki emosi yang stabil, dapat bergaul dengan teman sebaya dan mampu menjalani tugas-tugas sesuai jenis kelaminnya. Pada masa remaja ini sudah pasti bukan usia yang tepat untuk menikah. Jika ada individu yang menikah di usia 13-17, maka mereka akan banyak menemui tantangan karena bukan tugas perkembangannya.
Setelah melewati masa remaja, individu dengan usia 18-35 tahun akan memasuki masa dewasa awal. Tugas perkembangan individu dewasa awal yaitu sudah merencanakan/memiliki karier yang matang, memilih pasangan dan dapat hidup dan dapat hidup bersama sebagai keluarga. Hal ini tidak bertentangan dengan UU No 16 Tahun 2019. Walaupun demikian, ini bukan berarti bahwa individu dewasa awal harus sudah menikah.
Pada usia ini yang paling penting individu sudah memiliki rencana masa depan tentang hidup berkeluarga, termasuk akan menikah atau tetap melajang. Melajang bukan berarti tidak hidup berkeluarga. Dengan melajang, individu tetap harus merencanakan kehidupannya, misalnya dengan tetap hidup sendiri namun ikut memperhatikan kebutuhan para keponakan, saudara atau anak asuh. Bagaimana dengan individu dewasa awal yang merencanakan akan menikah? Ada beberapa hal penting yang harus dipertimbangkan, selain usia.
Pertama, yaitu tentang kemandirian emosi. Sebelum merencanakan pernikahan, individu harus memahami bahwa dengan menikah ia harus rela hidup mandiri bersama pasangannya dan tidak lagi bergantung pada orang tuanya. Orang tua dan keluarga besar tentu tetap harus dihormati namun tanggung jawab individu yang sudah menikah yaitu lebih kepada pasangannya. Banyak perselisihan dalam pernikahan terjadi karena individu belum rela melepaskan diri dengan keluarga asal. Keputusan-keputusan yang diambil individu setelah menikah harus berdasar persetujuan pasangan, bukan hanya persetujuan keluarga besar. Jika memang belum siap mandiri, walau usia sudah memasuki masa dewasa awal, maka sebaiknya pernikahan ditunda.
Syarat kedua yaitu tentang kemandirian dalam hal keuangan. Para pakar keuangan menyarankan agar keuangan dalam keluarga menganut prinsip 40-30-20-10. Penghasilan dalam keluarga 10% dialokasikan untuk kebaikan, 20% untuk masa depan (investasi, asuransi), 30% untuk cicilan dan 40% untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Jika individu masih merasa belum cukup dengan dana tersebut, maka sebaiknya bekerja lebih cerdas sebelum menikah sehingga kebutuhan tercukupi. Usia dewasa awal merupakan masa-masa produktif sehingga diharapkan individu tidak sulit mencapai prinsip 40-30-20-10 tersebut. Pernikahan memang bukan masalah hitung-hitungan untung dan rugi namun jika salah satu pihak merasa gaya hidupnya menurun karena faktor finansial, maka pernikahan menjadi sangat berat untuk dilanjutkan.
Ketiga, yaitu tentang keseimbangan tiga aspek, yaitu kognitif, afeksi dan perilaku.
Kognitif terkait dengan komitmen. Kehidupan pernikahan tidak menjanjikan bahwa masing-masing pihak tidak lagi bisa tergoda dengan orang ketiga. Bahkan karena selalu bersama, pasangan bisa bosan dan sering konflik. Untuk itu dibutuhkan cara berpikir yang logis dan komitmen untuk tidak berpisah dengan pasangan walaupun perasaan mungkin mengatakan sebaliknya. Dengan kata lain, aspek kognitif ini melibas perasaan atau suasana hati. Suasana hati bisa saja naik turun namun komitmen akan terus stabil sepanjang masa. Jika tidak siap berkomitmen, maka disarankan untuk tidak melanjutkan rencana pernikahan.
Aspek afeksi meliputi perasaan yang mendalam kepada pasangan. Perasaan ini membuat kedua belah pihak merasa menjadi nomor satu dalam perasaan pasangannya. Ada perasaan mesra saat bersama pasangan. Ada perasaan romantis sebagai wanita dan pria dewasa. Muncul juga perasaan cemburu (dalam porsi yang pas) jika tidak diperhatikan. Tanpa perasaan tersebut, walau individu memiliki komitmen, pernikahan lebih baik ditunda.
Aspek perilaku meliputi keinginan untuk selalu bersama, nyaman saat mengobrol, dan menikmati waktu bersama. Jika aspek perilaku ini tercapai maka kedua belah pihak akan sama-sama mencari waktu untuk berdua. Tidak ada pihak yang merasa digantung perasaannya, tidak ada pihak yang merasa selalu kesulitan menghubungi pasangannya, dan tidak ada pihak yang tiba-tiba ditinggal saat sedang sayang-sayangnya.
Ketiga syarat, yaitu kemandirian emosi, kemandirian finansial dan keseimbangan kognitif-afektif-perilaku, harus dipenuhi individu bersama pasangannya, jauh-jauh hari sebelum pernikahan dimulai. Jangan pernah menurunkan syarat-syarat tersebut hanya karena dikejar usia. Selamat merencanakan pernikahan yang bahagia selamanya.
►https://kuasakata.com/read/persuasi/18207-pernikahan-bukan-sekedar-soal-dikejar-usia