Oleh Dr. Christiana Retnaningsih, dosen Program Nutrisi dan Teknologi Kuliner, Program Studi Teknologi Pangan dan Program Magister Teknologi Pangan, Unika Soegijapranata Semarang.
"Singapura, Hongkong dan Jepang, adalah negara-negara yang punya kebijakan mendorong warganya untuk bergerak, banyak melakukan jalan kaki dan naik kendaraan publik, saat melakukan aktivitas sehari-hari. Dengan banyak bergerak, risiko terkena DM pun makin minimal."
DUNIA menetapkan tanggal 14 November sebagai ”Hari Diabetes Mellitus”. Itu artinya, penyakit gangguan metabolik ini mendapat perhatian serius, sama seperti penyakit jantung, kanker, ginjal, ataupun stroke. Pada kenyataannya memang demikian.
Diabetes mellitus (DM) menjadi ”pintu masuk” atau ”password” bagi berbagai penyakit mematikan tersebut di atas, selain juga mengakibatkan gangguan pada penglihatan, impotensi, dan lainnya. Jumlah penderita (prevalensi) diabetes dari penduduk dunia usia dewasa (20-79 tahun) menunjukkan peningkatan signifikan. Pada tahun 2010 angka prevalensi sebesar 6,4% (285 juta penduduk).
Tahun 2030 naik menjadi 7,7%, atau diperkirakan 439 juta penduduk dunia usia dewasa saat itu. Di antara tahun 2010 hingga 2030 diperkirakan peningkatan penderita di negara-negara sedang berkembang lebih tinggi, yakni 69,5 % dibanding negara-negara maju yang angkanya sekitar 20%. Bagaimana Indonesia? Negeri ini menduduki ranking 6 dunia pengidap diabetes, jumlahnya sekitar 10,4 juta jiwa.
Angka riilnya bisa di atas jumlah itu, sebab, pasti masih banyak jumlah pengidap yang belum terdeteksi. Yang jelas, penyakit itu telah menelan dana jaminan kesehatan nasional (JKN) paling besar, menurut Ketua Umum Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni) Prof Dr dr Ketut Suastika, SpPD, dalam Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) Indonesian Health Economic Association (InaHEA) ke-6 di Bali, 6 Oktober 2019.
Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan 2018, Provinsi DKI Jakarta menempati prevalensi tertinggi jumlah penderita diabetes, yaitu 3,4% (sekitar 250.000 pengidap), disusul DIY (3,1%), Jawa Timur (3,1%). Tiga daerah itu adalah provinsi tertinggi prevalensinya. Sementara Jawa Tengah berada di urutan 13, dengan angka prevalensi 2,1% dari jumlah penduduk. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah daerah yang terendah prevalensinya, yakni 0,8%.
Faktor Pemicu
Secara umum, penyakit DM dikelompokkan dalam tiga kategori berikut ini: Pertama, Diabetes Mellitus Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM). Yakni gangguan metabolik yang ditandai oleh kenaikan kadar gula darah akibat destruksi (kerusakan) sel beta pankreas yang menyebabkan produksi insulin tidak ada sama sekali, sehingga penderita membutuhkan tambahan insulin dari luar.
Kedua, Diabetes Melitus Tipe 2 atau Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Yaitu gangguan metabolik yang ditandai kenaikan kadar gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan atau terjadi resistensi insulin. Ketiga, Diabetes Melitus Tipe Gestasional.
Yakni gangguan metabolik yang ditandai oleh kenaikan kadar gula darah yang terjadi pada wanita hamil. Biasanya terjadi pada usia 24 minggu masa kehamilan. Dan setelah melahirkan gula darah kembali normal. Banyak faktor yang dapat memicu munculnya penyakit DM. Faktor genetik atau keturunan adalah salah satunya, yang banyak terjadi pada penderita DM tipe 1, serta sebagian tipe 2. Faktor ini tidak dapat dikendalikan.
Di luar itu, ada banyak faktor yang sesungguhnya bisa dikendalikan, yaitu berkait dengan pilihan asupan makanan dan gaya hidup, termasuk aktivitas fisik yang kurang, yang mengakibatkan banyak kalori tertimbun, tidak termanfaatkan. Sayangnya, gaya hidup serba instan yang makin menjadi bagian yang akrab dalam hidup kita seharihari, justru mengundang hadirnya penyakit DM. Di kota-kota besar khususnya, makanan dan minuman cepat saji dan makanan industrial yang cepat olah, makin menjadi pilihan.
Kandungan karbohidrat, glukosa, maupun lemak jenuhnya sangat tinggi. Asupan lemak diketahui memiliki peranan yang penting dalam mempertahankan sensitivitas insulin. Asupan lemak yang berlebihan akan berdampak terhadap kadar adiponektin dalam darah. Adiponektin memiliki peran penting d a l am mengontrol sensitivitas insulin. Ketika asupan lemak terlalu tinggi dan menumpuk di dalam tubuh, kadar adiponektin akan menurun.
Ketika adiponektin di dalam tubuh seseorang rendah, maka risiko terkena diabetes meningkat. Selain soal asupan makanan, ada kecenderungan aktivitas fisik masyarakat rendah, bahkan cenderung banyak duduk (sedentary). Itu yang memicu obesitas, dan pada tahap selanjutnya mengundang hadirnya penyakit DM, lalu penyakit penyakit degenaratif mematikan lainnya.
Banyak hal yang membuat aktivitas fisik kita makin rendah. Selain jenis pekerjaan yang tidak terlalu membutuhkan tenaga, seperti halnya petani yang harus mencangkul, perkembangan teknologi juga memungkinkan kita tidak terlalu mengeluarkan banyak keringat dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Kita tidak perlu lagi menimba air, karena ada pompa air.
Kita tak perlu lagi mencuci dengan tangan, karena ada mesin cuci. Kita tak perlu lagi berjalan ke tujuan yang kita kehendaki, karena ada kendaraan bermotor. Kita tak perlu bolak-balik berdiri untuk mengubah chanel televisi, karena ada remote control. Gejala mengemuka yang membuat kita banyak duduk pada saat ini adalah kemacetan yang terjadi di kota-kota besar.
Banyak waktu tersia- sia di atas kendaraan bermotor. Demikian pun dengan kehadiran smartphone, banyak menyita waktu kita untuk tidak aktif secara fisik. Aktivitas berkomunikasi dengan piranti tersebut dilakukan dengan kegiatan fisik yang sangat minimal, hanya duduk dengan kepala membungkuk, hanya jemari tangan dan mata yang aktif.
Pendidikan Publik
Penyakit DM pantas mendapat perhatian serius. Jumlah penderitanya di negeri ini makin meningkat, baik secara absolut maupun proporsional. Penyakit kelainan metabolistik, yang mengundang hadirnya penyakitpenyakit lain yang mematikan ini paling menguras dana jaminan kesehatan nasional. Faktor risiko pemantiknya pun makin banyak dan beragam, baik asupan makanan maupun gaya hidup.
Maka sudah sewajarkan kalau pemerintah–bersama para akademisi dan aktivis sosial yang peduli pada kesehatan–melakukan upaya literasi diabetes mellitus secara serius. Literasi DM adalah upaya pendidikan publik untuk mencegah terjadinya DM. Setidaknya angka prevalensinya tidak makin meninggi dari waktu ke waktu.
Lewat literasi DM ini diharapkan masyarakat ”melek DM”: betapa berisikonya penyakit ini, betapa mudah masyarakat terjangkit DM karena faktor-faktor risikonya sangat tinggi dan menjadi bagian dari hidup kita sehari-hari. Sesungguhnya banyak negara di dunia yang peduli pada kesehatan warganya, sangat serius melakukan upaya pencegahan DM. Singapura contohnya. Tahapnya bukan lagi literasi, melainkan sudah dalam bentuk aksi, atau kebijakan yang memaksa.
Contohnya, murid-murid SD dan SMP yang mengalami obesitas ñyang potensial terkena DMó tidak diperkenankan pulang begitu jam sekolah usai. Mereka harus berolahraga dan diberi pelajaran soal diet. Masih di Singapura, pada tahun 2020 negeri itu akan menerapkan larangan iklan minuman yang mengandung pemanis di semua media (cetak, televisi, dan media daring). Minuman berpemanis itu meliputi soft-drink, jus, yogurt, serta kopi. Kandungan gula yang tinggi pada berbagai minuman industri
al tersebut, menjadi faktor risiko datangnya DM.
Singapura, Hongkong dan Jepang, adalah negara-negara yang punya kebijakan mendorong warganya untuk bergerak, banyak melakukan jalan kaki dan naik kendaraan publik, saat melakukan aktivitas sehari-hari. Di negeri itu, trotoar dibuat nyaman dan aman bagi pejalan kaki. Demikian pun angkutan publiknya. Dengan banyak bergerak, risiko terkena DM pun makin minimal. Kita memang harus serius mencegah DM. Banyak kebijakan dari negara-negara lain yang bisa kita adaptasi untuk diterapkan di negeri ini. (34)
►https://www.suaramerdeka.com/smcetak/baca/206795/literasi-diabetes-mellitus, Suara Merdeka 14 November 2019, hal. 4