Oleh: Prof Dr F Ridwan Sanjaya, Rektor Unika Soegijapranata dan Guru Besar Bidang Sistem Informasi
" Dengan mengajak Gen-Z untuk tetap berada di kebiasaan yang sama dengan generasi sebelumnya, membuat kepekaan mereka dalam menghadapi perubahan menjadi tidak tajam atau bahkan hilang. "
DALAM buku berjudul Generasi Z karya David dan Jonah Stillman (2017), generasi Z atau disingkat Gen-Z disebut-sebut sebagai penduduk asli dunia yang disebut figital (fisik dan digital). Sebutan itu karena sejak lahir mereka telah dilengkapi dengan berbagai teknologi yang memungkinkan mereka untuk menemukan kesamaan berbagai aspek fisik dalam dunia digital. Bagi Gen-Z, dunia nyata dan dunia virtual dapat saling melengkapi dan saling menggantikan. Dengan kata lain, virtual menjadi bagian dari realitas generasi ini.
Gabungan antara fisik dan digital ini telah menjadi realitas baru bagi generasi ini. Tentunya pernyataan tersebut juga bergantung pada aksesibilitas dan interaksi Gen-Z terhadap teknologi yang tersedia selama ini. Namun batas pemisah antara fisik dan digital telah terkikis. Kedua hal tersebut tidak lagi dibandingkan karena keberadaannya di dunia nyata atau di dunia digital, tetapi berdasarkan kualitas, harga atau biaya, penjelasan, ulasan, dan peringkat atau penilaian yang selama ini dipahami oleh semua generasi namun dengan simbol-simbol yang berbeda.
Saat diskusi dengan kolega yang termasuk dalam generasi sebelumnya, kepercayaan terhadap sebuah organisasi biasanya diawali dengan pengalaman perjumpaan dan pemahaman. Namun bagi generasi ini bahkan generasi sebelumnya di masa sekarang, kepercayaan tersebut bisa timbul karena jumlah bintang atau simbol kepuasan sejumlah individu yang lain serta ulasan atau pendapat-pendapat kebanyakan individu di dunia maya.
Mereka seringkali mengandalkan crowd wisdom atau opini kolektif dari individu-individu. Setiap individu tersebut bahkan bukan merupakan sosok yang dikenal publik sebagai tokoh atau influencer yang berpengaruh. Sehingga muncul juga tuduhan bahwa pendapat- pendapat tersebut bisa saja tidak asli atau dimanipulasi sesuai pihak yang berkepentingan. Meskipun bisa saja diatur dengan baik secara digital, harus diakui bahwa kemungkinan tersebut sangat bisa terjadi. Bukankah hal tersebut juga terjadi di dunia nyata selama ini? Dunia digital sering mereplikasi berbagai kebiasaan yang terjadi di dunia nyata.
Mengasah Kepekaan
Berbagai pihak menyebutkan bahwa pandemi Covid-19 telah mengakselerasi berbagai sisi digital dan seringkali meletakkannya sebagai jawaban yang mendasar dari banyak hal. Untuk itu dunia pendidikan, terutama pendidikan tinggi, perlu juga mengantisipasi realitas baru tersebut dalam wujud pengalaman, praktik-praktik etis dalam pembelajaran, serta kebiasaan- kebiasaan yang disepakati dalam perkuliahan. Sebab mereka nanti akan bekerja dan beraktivitas di masa ketika aspek fisik dan digital berbaur dan saling mengisi. Dengan mengajak Gen-Z untuk tetap berada di kebiasaan yang sama dengan generasi sebelumnya, membuat kepekaan mereka dalam menghadapi perubahan menjadi tidak tajam atau bahkan hilang.
Dalam wisuda Unika Soegijapranata pada September 2020, terdapat cara-cara baru yang menggambarkan gabungan antara fisik dan digital. Jika sebelumnya digunakan teknologi face tracking untuk membuat wisudawan terasa berada di proses wisuda, maka dalam wisuda kali ini ditambahkan augmented reality (AR) atau realitas berimbuh agar wisudawan juga bisa terlibat di dalam wisuda meskipun secara fisik tetap tidak terjadi. Pemindahan kucir wisudawan pada saat wisuda terjadi secara virtual namun dirasakan tetap terselenggara secara fisik. Dengan begitu wisudawan tetap dapat merasakan kebahagiaan saat diwisuda di dunia figital.
Pengalaman figital lainnya juga dapat dirasakan sebelumnya di perpustakaan Unika Soegijapranata. Mahasiswa dapat menyimak resensi buku melalui tokoh virtual yang muncul pada saat smartphone diarahkan ke sampul buku yang disediakan melalui teknologi augmented reality. Mahasiswa juga dimungkinkan untuk mengakses koleksi pustaka yang ada di dunia virtual melalui kacamata virtual reality (VR). Meskipun peminjaman dilakukan di dunia virtual, buku sudah disiapkan di layanan pelanggan saat mahasiswa keluar dari perpustakaan. Selain itu, tokoh hologram akan muncul menyapa para pengunjung dan menjawab berbagai informasi yang dibutuhkan.
Apabila sejak awal mahasiswa sudah dikenalkan dengan berbagai aspek figital, ketika lulus, wisudawan tidak lagi terkejut-kejut melihat hal-hal baru atau bahkan resisten terhadap sesuatu yang baru. Wawasan terhadap masa depan sudah terbuka dan diperkaya, jauh sebelum terjun atau kembali lagi ke dunia kerja. Dengan begitu, langkah wisudawan menjadi lebih ringan dalam memformulasikan berbagai strategi setelah diwisuda ataupun di dunia kerja.
Semua usaha untuk mendekatkan lulusan perguruan tinggi dengan kondisi yang baru akan membantu kita semua dalam mewujudkan talenta- talenta berbakat yang kontributif bagi Tanah Air dan kemanusiaan. Bakat pemberian Allah jangan hanya disembunyikan, namun hendaknya dipersembahkan seluruhnya kepada nusa, bangsa. Talenta pro patria et humanitate!
►Suara Merdeka 19 September 2020 hal. 4,
https://www.suaramerdeka.com/news/opini/240941-dunia-figital-generasi-z