Oleh: Cecilia Titiek Murniati, dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Katolik Soegijapranata.
PERKEMBANGAN sebuah bahasa tergantung pada penuturnya. Kalau para penuturnya menggunakan bahasanya dengan baik dan benar (sesuai dengan situasi kondisi), maka bahasa tersebut akan bisa berkembang dengan baik. Sebaliknya, kalau para penuturnya ”merusaknya,” maka bahasa tersebut pada akhirnya juga akan rusak.
Bagaimana dengan bahasa Indonesia, lingua franca, bahasa persatuan, dan bahasa resmi kita? Pengaruh media sosial terhadap bahasa Indonesia sangat besar sebagai akibat perilaku berbahasa kita semua sebagai penuturnya. Dalam Bulan Bahasa ini ada baiknya kita merenungkan persoalan ini dan selanjutnya bagaimana kita memiliki komitmen bersama untuk merawat bahasa kita.
Pengaruh Media Sosial
Media sosial, apa pun itu, yang saat ini dan ke depan sudah dan akan sangat berpengaruh pada hidup kita, dan akan semakin berpengaruh. Perilaku kita dalam kehidupan nyata sehari-hari sangat dipengaruhi oleh apa yang ada di dalam media sosial.
Ini satu hal yang tidak bisa dihindari. Namun demikian tulisan ini tidak akan membicarakan berbagai dampak media sosial terhadap hidup kita, tetapi hanya fokus pada perilaku berbahasa kita.
Tidak semua pengaruh media sosial terhadap perilaku berbahasa kita adalah positif. Justru yang menonjol saat ini adalah pengaruh negatif, terutama dalam bahasa tulis. Penulisan kalimat, kata, bahkan huruf yang tidak sesuai dengan kaidah memenuhi media sosial.
Kalimat tidak diawali dengan huruf besar dan tidak diakhir dengan tanda titik jelas sudah salah. Penulisan kata disingkat dan singkatan tersebut suka-suka. Bahkan penulisan huruf ìIî dalam bahasa Inggris pun tidak ditulis dengan huruf kapital.
Ini contoh-contoh yang menunjukkan kepada kita bahwa dalam bermedia sosial, terutama yang terkait dengan bahasa tulis, sebagian besar dari kita memindahkan bahasa lisan ke bahasa tulis.
Pemilihan diksi juga sering kali tidak tepat. Diksi dalam konteks informal seringkali digunakan untuk konteks formal dan sebaliknya.
Dengan kondisi yang demikian, apakah itu mahasiswa dan pelajar, anak-anak dan remaja, publik secara luas, dan bahkan para guru dan dosen, menjadi semakin tidak peduli pada kaidah bahasa tulis. Karena komunikasi dalam media sosial lebih banyak bersifat informal, kita pun cenderung menggunakan bahasa informal dalam konteks formal terutama dalam bahasa tulis.
Dalam makalah, tugas akhir, ataupun tugas kuliah, gaya bahasa informal masih sering digunakan. Demikian juga ketika berkomunikasi dengan formal apakah kepada atasan atau tamu atau orang yang kita hormati, kita masih saja menggunakan bahasa informal.
Di pendidikan tinggi, mata kuliah Bahasa Indonesia merupakan mata kuliah wajib yang hanya diberikan satu semester. Karena itu harus ada penekanan penggunaan bahasa formal dan i n f o r m a l . Hal ini bukan b e r a r t i bahwa peng a j a r a n bahasa Indonesia difokuskan pada tata bahasa tapi lebih pada praktik penggunaan bahasa dengan benar.
Sering kita berasumsi bahwa para mahasiswa kita sudah bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Kenyataannya, mayoritas mahasiswa tidak bisa berbahasa tulis dengan baik. Tulisan mereka banyak yang tidak bisa dipahami. Mestinya mereka menulis kalimat yang baik tetapi mereka hanya menuliskan frase atau anak kalimat.
Di samping itu, banyak sekali tulisan yang tidak memiliki koherensi, antara paragraf satu dengan yang lain tidak ”nyambung” sehingga gagasan utama tidak bisa dipahami dengan baik. Persoalan menjadi semakin serius ketika para mahasiswa, baik tingkat S1, S2, atau bahkan S3, tidak bisa menulis kalimat dengan baik.
Kompetensi Dosen
Kompetensi dosen dalam merawat bahasa Indonesia merupakan aspek yang penting. Selama ini, banyak dosen bahasa Indonesia di banyak perguruan tinggi tidak memiliki kualifikasi. Hal ini terjadi karena mata kuliah Bahasa Indonesia tidak dianggap penting.
Tentu saja ini merupakan anggapan yang gegabah. Belajar ilmu apa pun, kalau seseorang tidak bisa menyusun kalimat dengan baik, akan sulit bagi orang itu untuk menyampaikan gagasannya kepada orang lain. Di samping itu, pelajaran bahasa Indonesia tidak hanya ada di kelas Bahasa Indonesia. Pada mata kuliah lain, dosen pun harus menjaga dan merawat bahasa Indonesia dengan memberi masukan kepada mahasiswa jika mereka menggunakan bahasa secara tidak tepat.
Memang betul jika dosen yang mengajar mata kuliah bahasa Indonesia adalah dosen dengan kompetensi dan kualifikasi yang memenuhi standar. Namun dosen mata kuliah lain pun perlu memperhatikan kesantunan berbahasa, perilaku berbahasa, dan penggunaan bahasa formal dan informal secara tepat.
Cara lain untuk meningkatkan kemampuan berbahasa adalah minat baca yang tinggi. Saran ini sepertinya udah outdated dan digemakan berulangulang. Namun pada kenyataannya, persoalan minat baca inilah salah satu problem terbesar kita sebagai bangsa. Minat baca yang tinggi akan membuat siapa pun memiliki keterampilan berbahasa yang lebih baik, apakah itu terkait dengan bahasa lisan atau bahasa tulis.
Untuk mewujudkan hal ini, kita bergantung pada kebijakan pemerintah. Jelasnya, pemerintah harus melakukan revolusi dalam bidang membaca. Bangsa yang maju, beradab dan berbudaya adalah bangsa yang suka membaca. Kalau tidak, kita hanya akan menjadi bangsa yang suka berteriak. Mari kita merawat bahasa Indonesia kita!
https://www.suaramerdeka.com/news/opini/245565-merawat-bahasa-indonesia
Suara Merdeka 30 Oktober 2020, hal. 4