Nafas baru di dalam dunia arsitektur nusantara yang selalu ditiupkan oleh satu sosok ini, menjadi daya tarik tersendiri bagi banyak perguruan tinggi yang mengalami titik jenuh karena selalu didikte oleh arsitektur dari Eropa, seakan Indonesia tidak punya jati diri yang bisa diterapkan di arsitektur Indonesia.
Sosok yang sudah sepuluh kali menjadi narasumber dalam topik arsitektur nusantara selama tahun 2020, dan delapan kali selama masa pandemi di tahun 2020 di beberapa perguruan tinggi ini, tampaknya gayung bersambut dengan keinginannya untuk melestarikan arsitektur nusantara.
Beliau adalah Ir Ch Koesmartadi MT IAI salah seorang dosen Prodi Arsitektur Fakultas Arsitektur dan Lembaga LMB (Lingkungan Manusia dan Bangunan) Unika Soegijapranata.
Dalam wawancara singkat melalui telepon WhatsApp, Ir Koesmartadi menjelaskan secara singkat proses pencariannya untuk menggali Arsitektur Nusantara yang sudah dimiliki oleh nenek moyang kita sejak dulu dan sekarang tampaknya sudah mulai dicari.
“Dalam masa sepuluh tahun terakhir ini, saya selalu menyajikan tentang arsitektur nusantara yang merupakan kekayaan arsitektur NKRI karena banyak tersebar di seluruh Indonesia,” terangnya.
Yang pada acara kuliah tamu Sabtu lalu (28/11) di Program Pascasarjana Universitas Merdeka Malang, saya menjadi salah satu narasumber dengan paparan topik tentang ‘Paduan Atap Lempengan dengan Struktur Penyangga sebagai ciri Konstruksi Arsitektur Nusantara,’ lanjutnya.
Salah satu yang menarik dalam arsitektur nusantara adalah atapnya bukan menganut kuda-kuda, tetapi atapnya berbentuk lempengan (empyak) yang memadukan atap lempengan dengan struktur penyangganya atau kalau di Jawa sering disebut disebut tumpangsari. Dan ternyata setelah keliling ke beberapa tempat di Indonesia serta mampir ke beberapa tempat tersebut, ternyata atapnya memiliki ciri-ciri yang sama tetapi dengan nama yang berbeda.
“Dan apa yang saya ketahui ini saya tularkan kepada generasi muda, supaya mengetahui adanya kekayaan arsitektur di Indonesia,” jelas Ir Koesmartadi.
Jumlah bangunan yang menggunakan arsitektur nusantara di Indonesia, sejauh yang saya tahu adalah berkisar 670 buah. Dan bangunan itu menjadi bukti kekayaan kita (arsitektur nusantara) dalam rangka prinsip Merdeka Belajar-Kampus Merdeka, yang dalam konteks arsitektur nusantara ini kita berusaha memerdekakan diri di dalam berpikir arsitektur.
Harapannya kita tidak perlu menganut arsitektur yang berasal dari luar negeri, Kita punya banyak sekali arsitektur yang kita punya namun belum terekspos. Olehkarena itu kita coba gali kembali dan kita perbaharui dengan bentuk-bentuk yang modern, sehingga dapat menciptakan karya arsitektur dengan gaya-gaya yang memiliki karakter khas Indonesia.
Salah satu kelebihan dari arsitektur nusantara juga disampaikan oleh Ir Koesmartadi dalam paparan materinya. “Di dalam gambar sudah saya buktikan bahwa sistem konstruksi arsitektur nusantara itu saling berkait sehingga bisa bergerak pelan-pelan jika terjadi gempa. Artinya, kayu dengan kelenturannya yang sangat tinggi mampu mereduksi beban sehingga menjadi kekuatan tersendiri, “ paparnya.
Hal lain, berdasarkan browsing terakhir saya di internet, diketahui bahwa arsitektur Eropa saat ini sedang getol dengan arsitektur kayu, karena tidak membuang limbah, sebab jika terjadi gempa apabila menggunakan beton maka akan membuang limbah lebih banyak dan sudah tidak bisa diperbaiki lagi.
Bahan-bahan yang sering digunakan dalam arsitektur nusantara dan tersedia di sekitar adalah bambu dan kayu, baru setelah itu baja dan yang terakhir adalah beton.
Beton selalu menjadi alternatif terakhir, karena jika terjadi gempa, yang sering mengakibatkan korban meninggal bukan karena gempanya, tetapi lebih banyak diakibatkan oleh kejatuhan beton yang roboh akibat gempa.
Sedangkan baja juga bisa digunakan untuk arsitektur modern karena tingkat kelenturannya juga tinggi dan bisa didaur ulang, seperti misalnya Joglo bandara Sukarno Hatta yang pertama, gedung kantor pusat UI dan sebagainya, pungkasnya. (FAS)
Gelar Wicara Kemanusiaan dan Kebudayaan SCU; Menghidupkan Kembali Warisan Nilai Prof. Dr. M. Sastrapratedja, SJ
Soegijapranata Catholic University (SCU) menggelar Gelar Wicara di Theater Thomas