oleh: Andreas Lako, Guru besar Akuntansi, Ketua Program Doktor Ilmu Lingkungan Unika Soegijapranata Semarang.
Belajar dari multidampak Covid-19 sepanjang tahun 2020 pemerintah sebaiknya jangan dulu membuat kebijakan politik dan ekonomi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi fokus pada pengendalian kasus Covid-19.
Memasuki awal 2021, pemerintah optimistis perekonomian Indonesia pada 2021 akan jauh lebih baik dibanding 2020. Pertumbuhan ekonomi ditargetkan pada kisaran 4,5-5,5 persen.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021, pemerintah bahkan mematok pertumbuhan 5 persen. Berdasarkan target itu, pendapatan negara pada 2021 ditarget naik 2,6 persen, sementara belanja negara naik 0,4 persen.
Pada 2020, perekonomian mengalami pertumbuhan negatif antara minus 1,7 persen hingga minus 0,6 persen. Pada 2021 ketidakpastian ekonomi diyakini masih tinggi, namun pemerintah tetap optimistis target tersebut bisa terwujud.
Optimisme itu tampaknya dilatari oleh prediksi awal Dana Moneter Internasional (IMF) bahwa ekonomi Indonesia pada 2021 akan bertumbuh 6 persen, dan juga prediksi Bank Indonesia (BI) bahwa ekonomi nasional bakal bertumbuh pada kisaran 4,8 – 5,8 persen.
Sebagai pemompa semangat hidup kepada masyarakat luas ketika kondisi bangsa sedang dililit Covid-19, optimisme yang digelorakan pemerintah patut diapresiasi. Namun, jangan sampai optimisme berlebihan menjadi bumerang karena pemerintah bisa saja menjadi kurang waspada dan jeli dalam merespons hal-hal ekstraordiner yang bakal terjadi.
Hal ini terutama terkait potensi ancaman ledakan Covid-19 gelombang III yang masih sangat besar pada 2021 ini.
Ledakan gelombang III
Potensi ancaman ledakan kasus Covid-19 gelombang III sangat besar apabila tidak segera dikendalikan. Mencermati tren penambahan kasus positif Covid-19 sejak awal Maret 2020 hingga 31 Desember 2020, tampaknya Indonesia sudah melewati dua gelombang. Mulai Januari 2021 Indonesia bakal memasuki fase gelombang III.
Gelombang I adalah periode Maret – Mei 2020, di mana peningkatan kasus positif Covid-19 masih relatif kecil yaitu dari 1.528 kasus (31/3/2020) menjadi 26.473 (31/5/2020).
Pada Gelombang I ini, pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada sejumlah daerah. Dampak dari PSBB adalah lesunya aktivitas perekonomian sehingga pertumbuhan ekonomi pada triwulan II-2020 adalah minus 5,32 persen.
Gelombang II adalah periode Juni-Desember 2020, di mana peningkatan kasus positif Covid-19 sangat signifikan, yaitu dari 56.385 kasus (31/6/2020) menjadi 743.198 kasus (31/12/2020) atau naik 2.707,4 persen. Peningkatan pesat ini disebabkan oleh pemberlakuan new normal.
Agar aktivitas perekonomian pulih kembali, pada akhir Mei 2020 Presiden Jokowi meminta pemerintah daerah dan masyarakat luas menerapkan new normal yaitu berdamai dengan Covid-19 dan melakukan aktivitas sosial-ekonomi seperti biasa dengan tetap mematuhi protokol kesehatan.
Calon penumpang melintas di depan spanduk imbauan protokol kesehatan di kawasan Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin (25/1/2021). Jumlah penumpang selama pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) dibatasi maksimum 50 persen dari kapasitas kereta.
Kebijakan ini seperti pisau bermata dua. Di satu sisi, berhasil mendongkrak pertumbuhan ekonomi dari minus 4,2 persen pada triwulan II-2020 menjadi 5,1 persen triwulan III- 2020 (Q to Q) dan sangat mungkin akan terus bertumbuh tinggi pada triwulan IV-2020. Namun di sisi lain, PSPB itu justru meningkatkan secara signifikan jumlah kasus Covid-19.
Berdasarkan data Covid-19 dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada akhir Desember 2020, Indonesia menyumbang 0,89 persen kasus positif Covid-19 global dan melonjak menduduki peringkat ke-20 negara dengan kasus Covid-19 terbanyak di dunia.
Yang sangat penulis kuatirkan saat ini adalah, target pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan mendorong pemerintah mengambil kebijakan ekonomi yang lebih fleksibel dan pragmatis dengan melonggarkan pengendalian Covid-19.
Belajar dari dampak positif-negatif penerapan new normal pada Juni-Desember 2020, tidak menutup kemungkinan langkah pemerintah mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi, justru bisa jadi bumerang, terutama terjadinya ledakan kasus Covid-19 gelombang III, jika dilakukan serampangan.
Indikasi bakal terjadinya ledakan kasus Covid-19 gelombang III akibat kian longgarnya aktivitas sosial dan ekonomi sesungguhnya mulai terlihat sejak 5 Januari hingga pertengahan Januari 2021. Tren kenaikan kasus baru Covid-19 terus bertambah dan selalu mencapai rekor terbaru. Pada 5 Januari 2021, kasus baru positif Covid-19 bertambah 7.445 kasus.
Sementara pada 16 Januari 2021 kasusnya naik pesat 14.244 kasus. Secara keseluruhan, akumulasi kasus positif Covid-19 hingga 18 Januari 2021 adalah 907.929 atau naik 22,17 persen dari akhir 2020. Sementara kematian akibat Covid-19 meningkat 17,4 persen.
Ledakan kasus Covid-19 gelombang III tentu saja akan berdampak negatif secara luas terhadap penanganan kesehatan dan defisit keuangan negara/daerah (APBN/APBD 2021). Lonjakan kasus Covid-19 tentu saja akan menyebabkan pemerintah mengambil lagi kebijakan darurat PSBB untuk mengendalikan laju Covid-19 seperti dilakukan selama 11-25 Januari 2021, dan bahkan untuk DKI Jakarta diperpanjang lagi hingga 8 Februari 2021.
Kebijakan tanggung “rem-gas” yang ditempuh pemerintah selama ini tampaknya juga kurang efektif menahan laju kasus Covid-19. Pengorbanan dana ratusan triliun rupiah dan lainnya untuk pengendalian Covid-19 serta dampak-dampaknya terasa seperti mubazir.
Selain itu, program vaksinasi massal yang sudah mulai dilakukan pemerintah sejak 13 Januari 2021 untuk memperkuat imunitas komunitas juga belum tentu akan efektif mengendalikan laju kasus Covid-19 apabila pemerintah kembali melonggarkan aktivitas sosial dan ekonomi serta pengendalian Covid-19 demi mendorong pertumbuhan ekonomi ke level 4,5 -5,5 persen.
Menurut saya, selama Januari-Maret 2021 pemerintah sebaiknya fokus dulu pada pelaksanaan vaksinasi massal terhadap 181 juta masyarakat yang sudah dipersiapkan dan memperkuat pengendalian Covid-19. Sementara aktivitas sosial dan ekonomi yang sudah terlanjur dilonggarkan sebaiknya diperketat kembali. Pada akhir Maret 2021, kebijakan itu dievaluasi. Apabila efektif, maka pelonggaran secara moderat terhadap aktivitas sosial dan ekonomi dari masyarakat dan dunia usaha dapat diperbolehkan lagi.
Meredam komplikasi
Dalam situasi bangsa masih dililit Covid-19 seperti saat ini, pemerintah sebaiknya jangan dulu tergiur untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Alasannya, komplikasi masalah ikutan yang bakal timbul dibalik pertumbuhan tinggi itu juga sangat kompleks.
Belajar dari multidampak kasus Covid-19 pada gelombang I dan II pada 2020, maka pada triwulan I atau semester I-2021 ini pemerintah sebaiknya jangan dulu tergiur mengambil kebijakan-kebijakan politik dan ekonomi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi seperti pada tahun-tahun normal.
Target pertumbuhan ekonomi lebih rendah sangat mungkin akan menyelamatkan Indonesia dari ancaman ledakan kasus Covid-19 gelombang III dan multikrisis yang menyertai. Walaupun target lebih rendah itu akan meningkatkan kemiskinan dan pengangguran terbuka, serta menyebabkan defisit APBN/APBD kian melebar
, namun laju kenaikan kasus Covid-19 akan lebih terkendali.
Terkendalinya kasus Covid-19 dan suksesnya program vaksinasi massal tentu akan memberi berbagai dampak positif bagi bangsa dan negara. Keberhasilan tersebut juga akan memberi optimisme dan kepercayaan diri yang kuat kepada pemerintah, masyarakat luas dan dunia usaha untuk pulih bersama dari krisis Covid-19 dan lainnya.
Sumber : Kompas 26 Januari 2021 halaman 6
https://kompas.id/baca/opini/2021/01/26/bumerang-pertumbuhan-tinggi/