Banyaknya pelecehan seksual pada anak bisa jadi disumbang oleh faktor minimnya pengetahuan seksual yang dimiliki oleh anak-anak sejak usia ini.
Orang tua cenderung tertabrak tatanan budaya ketimuran, sehingga pengajaran seks edukasi di ruang lingkup rumah terabaikan dan terkesampingkan begitu saja.
Padahal seks edukasi adalah pengetahuan yang harus diberikan kepada anak sejak dini, layaknya pengetahuan soal makan, minum, dan berpakaian.
Menurut Christin Wibhowo, dosen Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata Semarang, selain sebagai makhluk sosial kita juga merupakan makhluk seksual. Jadi posisi seks edukasi, sangat setara dengan kebutuhan dasar yang lain.
Seks edukasi sedari dini
Pendidikan seksual ini tak hanya berupa pengetahuan soal hubungan layaknya suami isteri saja. Namun lebih ke pengenalan anatomi tubuh, kesehatan tubuh, cara merawat tubuh dan cara bersosial berbekal pengetahuan soal tubuh.
"Pendidikan seksual harus diberikan lewat banyak sisi. Yaitu sisi kognitif atau cara berpikir, sisi emosi, sisi fisik, dan sisi sosial tentang bagaimana bergaul dengan orang lain yang sesama jenis dan beda jenis," begitu papar psikolog yang berpraktik di Semarang itu kepada Kompas.com, Kamis (20/05/2021) siang.
Seks edukasi bisa dimulai semenjak anak usia satu tahun dengan pengenalan toilet training. Di usia dua atau tiga tahun, anak sudah seharusnya lulus dalam edukasi paling mendasar ini.
Pengenalan sentuhan aman dan pohon keluarga
Di atas usia tiga tahun, biasanya anak sudah bisa diajak berkomunikasi secara verbal. Anak juga sudah bisa menggali edukasi dari dongeng juga lagu-lagu.
Nah di usia ini, mulai ajari anak mengenal pohon keluarga. Kenalkan mana keluarga inti, mana keluarga yang ada di luar keluarga inti, dan mana orang asing.
Keluarga inti di sini adalah ayah dan ibu. Keluarga di luar keluarga inti adalah om, tante, eyang, juga sepupu.
"Sampaikan kepada anak, jika ada sesuatu yang mengganjal pikiran anak, mereka bisa kapan pun menyampaikannya ke keluarga inti, yaitu ayah dan ibu. Ajari pula agar anak berhati-hati terhadap orang yang ada di luar keluarga inti," ujar Christin Wibhowo.
Berhati-hati di sini bisa tentang apa saja, tapi terutama, soal sentuhan aman dan tak aman.
Tentang batasan sentuhan aman, Anda bisa mengajari anak lewat lagu "Kepala Pundak Lutut Kaki".
"Selama sentuhan ada di area kepala, pundak, lutut dan kaki, maka orang asing seperti guru, teman atau saudara, masih bisa melakukannya. Namun jika sentuhan sudah menjurus ke sentuhan tak aman, ajari anak untuk protes, menolak, lari, teriak, kemudian mengadu ke keluarga inti."
Untuk memberikan batasan sentuhan tak aman, Anda bisa memberikan koridor seluruh area yang tertutup baju renang atau pakaian dalam. Yaitu area dada (untuk wanita) dan area kemaluan.
Koridor dalam bergaul dan mengakses medsos
Selanjutnya, ajari juga anak untuk bergaul dengan teman-temannya, baik sesama jenis maupun beda jenis.
Terapkan pembeda soal penyaluran kasih sayang kepada teman berdasarkan jenis kelamin. Semisal, anak perempuan dengan teman sesama perempuan bisa berpelukan dan cipika cipiki layaknya kasih sayang kepada ibu. Namun kepada teman laki-laki, hendaknya cukup dengan berjabat tangan saja, tidak lebih.
"Agar anak tak salah mengartikan, orang tua hendaknya juga menjaga sikap di depan anak-anaknya. Tunjukkan sisi romantis yang tak bakalan diartikan keliru oleh anak. Misalnya, hanya saling memeluk atau cium pipi saja, tidak lebih. Jika orang tua melakukan keintiman lebih di depan anak, anak bisa dengan mudahnya meniru dan mencontoh."
Bimbing dan temani terus anak dalam mengakses gawai dan media sosial. Ikuti rambut-rambu media sosial soal batasan umur dan lain sebagainya.
Larang anak untuk mengirim foto yang memperlihatkan area-area yang termasuk dalam wilayah sentuhan tak aman.
Untuk kontak di dalam buku telepon, ajari anak untuk memfilternya dengan baik. Semisal, hanya boleh menyimpan dan membalas kontak orang-orang yang dikenal di dunia nyata saja seperti keluarga inti, saudara, guru dan teman sekolah.
Jawab dengan logika
Kemudian ketika tiba masanya anak dalam fase serba ingin tahu, jawab pertanyaan anak dengan logika, dengan menyingkirkan rasa risih yang biasanya disimpan oleh para orang tua yang lekat dengan budaya ketimuran.
Jawaban akan pertanyaan anak yang mengarah ke hubungan seksual ini hendaknya jawaban yang menggunakan otak kiri, yang penuh dengan logika dan sains.
Tak perlu pengandaian-pengandaian yang lahir dari otak kanan, karena hal ini hanya akan membuat anak berimajinasi kemana-mana.
Christin sendiri berharap semua sekolahan akan memasukkan seks edukasi ke dalam kurikulum pendidikannya. Dengan bentuk pembelajaran terstuktur, maka edukasi bisa diberikan dengan logis tanpa dibarengi perasaan risih.