Peran budaya Jawa dalam menghadapi tatap muka di masa pandemi sangat penting. Pada dasarnya orang Jawa dalam berkomunikasi tidak hanya mengandalkan komunikasi verbal, tetapi juga non verbal. Sehingga ada ungkapan, ‘Jawa iku nggone rasa’, maka selanjutnya ada istilah ‘roso pangroso’. Dengan kata lain orang Jawa lebih banyak mengandalkan rasa daripada ungkapan fisik.
Ha ini diungkapkan budayawan Jawa yang sekaligus akademisi yaitu Dr Adi Eko Priyono MSi pada webinar dengan tema "Kearifan Lokal Sebagai Kekuatan Kolektif untuk Menghadapi Pembelajaran Tatap Muka", belum lama ini.
Acara yang diselenggarakan secara virtual melalui zoom dalam rangka Dies Natalis Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata yang ke-37 ini menghadirkan beberapa narasumber dari pakar psikologi Unika Soegijapranata yaitu Dr M Suharsono MSi dari psikologi sosial Unika Soegijapranata dan Dr Siswanto SPsi MSi Psikolog juga dari psikologi klinis Unika Soegijapranata. Serta Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo SH MIP
Dr Adi Eko Priyono MSi menjelaskan orang Jawa melihat dari keseimbangan antara makrokosmos (jagad gedhe) dengan mikrokosmos (jagad cilik), jagad cilik dimaksud adalah diri kita sendiri atau mikrokosmos, dengan jagad gedhe atau yang disebut makrokosmos. Dan pandemi covid-19 muncul karena ada ketidaksimbangan antara jagad cilik dan jagad gedhe, maka konteks ‘jogo tonggo’ dalam mengatasi pandemi bagi orang Jawa sangat relevan, karena jagad cilik yaitu diri kita berelasi dengan jagad gedhe adalah tetangga kita, harus memiliki hubungan yang selaras.
”Dengan demikian tatap muka lebih bisa diterima dalam konteks budaya Jawa, karena jika dilakukan secara daring dirasa sangat tidak efektif. Maka menjadi lebih disarankan adalah pembelajaran dengan tatap muka tapi dengan prokes yang ketat.”
Menurutnya, mekanisme pertahanan orang Jawa yang tertinggi adalah pada konteks pasrah dan ngalah. Artinya, kita pasrah adalah berusaha, sedangkan hasilnya kita serahkan kepada Yang Maha Kuasa. Sedang ngalah berarti tiga hal, yaitu ngalah, ngalih dan ngamuk atau dengan kata lain segala sesuatu ada tahapnya, dan puncak tiga hal tadi adalah ngamuk jika dirasa sudah tidak bisa ditolerir sehingga mencapai puncaknya.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyatakan mencoba merasakan apa yang dikehendaki oleh masyarakat. Tapi yang harus diketahui yaitu kita saat ini merasakan bersama situasi yang sedemikian cepatnya penularan, sehingga kuburan sudah mulai penuh, penggali kubur mulai kelelahan, rumah sakit sudah penuh, sehingga karena kondisi tersebut orang mudah menjadi emosi atau ngamuk.
”Maka mari dengan kearifan lokal kita tunjukkan, seperti halnya yang sudah diberlakukan dalam masyarakat Jawa Tengah yaitu ‘jogo tonggo’. Namun hal itu tidak mudah karena harus dilakukan, menurut bahasa Jawa adalah ‘seko jeroning ati’ atau hati yang terdalam, karena yang kita lakukan adalah berkaitan dengan rasa.”
Dengan semakin tersosialisasikannya ‘jogo tonggo’ maka muncul istilah baru yaitu ‘cantelan’ atau menggantungkan bahan makanan pada pagar atau pintu, saat warga memberi perhatian dan bantuan kepada warga lain yang sedang menjalani isolasi mandiri di rumah secara ikhlas.
”Saya juga mulai mengajak masyarakat untuk ‘eling lan ngelingke’, eling untuk diri kita sendiri dan ngelingke untuk orang lain yang apabila diingatkan masih melanggar, bisa mendapat sanksi sosial,” tandasnya.
Dr Suharsono membahas tentang relevansi pandangan dunia Jawa 4T di era pandemi covid-19. Dalam sebuah hasil survei dengan 210 responden ternyata diketahui bahwa alasan melaksanakan prokes 5M, lebih lebih banyak disebabkan karena motivasi pribadi untuk menjaga kesehatan diri sendiri yaitu hampir sekitar 90%.
”Dengan demikian menjadi harapan yang positif kedepannya dalam penanganan covid, karena sudah muncul kesadaran secara pribadi untuk menjaga kesehatan,” paparnya.
Untuk itu diperlukan parameter untuk melihat apakah tindakan kita sudah tepat atau belum di dalam menanggapi pandemi covid-19 yaitu parameter yang pertama adalah mempersiapkan psikis kita dengan kesabaran, keikhlasan, nrima, rila, eling lan waspada dan sebagainya. Olehkarena itu dengan mengoptimalkan akal budi dan hati nurani untuk berjuang mewujudkan potensi diri pada tingkat atau taraf setinggi-tingginya sangat diperlukan.
Parameter kedua adalah mempersiapkan tindakan kita, jadi tidak hanya mempersiapkan psikis saja tetapi juga melakukan tindakan nyata yang disebut juga dengan istilah ‘rame ing gawe’.
”Sedangkan parameter yang utama adalah tempat yang tepat yaitu dengan mendasarkan pada tiga prinsip adalah takdir, darma dan karma, yang ketiganya tidak hanya dipahami dalam konteks pasif melainkan dipahami dalam konteks aktif bertindak. Serta perlunya rasa untuk mengetahui kemampuan yang sebenarnya tanpa berpura-pura,” imbuhnya.
Pada pembicara kedua yang dipaparkan oleh Dr Siswanto membahas tentang pembelajaran tatap muka menjadi sarana pembentukan kebiasaan sehat baru.
"Sebelumnya kita merasa bahwa penularan covid-19 mulai menurun, sehingga kita merasa optimis pada bulan yang akan datang, kita akan bisa mulai pengenalan tatap muka. Tetapi ternyata kita dihadapkan pada kenyataan bahwa dalam beberapa minggu terakhir ini muncul varian baru dari India kemudian merebak sampai Indonesia," paparnya.*