Oleh: Margaretha Sih Setija Utami, Dosen Psikologi Kesehatan Keluarga Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata
Kebijakan bekerja dari rumah saja tak cukup untuk mencegah penularan Covid-19. Ini baru efektif jika setiap rumah memiliki fasilitas bekerja dan belajar yang memadai, sarana hiburan, dan tetangga yang saling dukung.
Seorang tenaga administrasi menunduk lemas saat diberi tahu bahwa kantornya memutuskan seluruh karyawan harus bekerja dari rumah. Terbayang olehnya beratnya tugas yang akan dia hadapi. Dia harus bergantian komputer dengan anak dan suaminya yang juga bekerja dari rumah, padahal target kerja dari kantor tidak berubah.
Tidak hanya permasalahan komputer, masalah berperan ganda tanpa batas waktu juga membuatnya merasa sangat capai. Rumahnya yang sangat sederhana tidak memungkinkan orangtua dan anak bekerja dan belajar bersamaan. Akibatnya, orangtua membebaskan anak-anak belajar dan bermain di luar rumah. Para bapak ”mengungsi” di tempat yang menyediakan Wi-Fi dan para ibu mengerjakan pekerjaan kantor di rumah sambil menyelesaikan pekerjaan domestik dan mengerjakan PR anak daripada repot mendampingi belajar anak.
Saat ini BDR (bekerja dari rumah) masih sering dipakai saat kasus Covid-19 melonjak. Efektifkah?
Hasil penelitian Crandall dkk (2020) menunjukkan bahwa keluarga dapat menyebabkan anggotanya menjadi sehat apabila mencakup empat aspek, yaitu kecukupan sumber daya, adanya emosi sehat, gaya hidup sehat, dan mempunyai dukungan sosial dari luar.
Pertama, sumber daya. Bekerja dari rumah sangat cocok untuk masyarakat kelas atas yang mempunyai rumah besar yang dapat berfungsi sebagai tempat tinggal sekaligus kantor, banyak hiburan di dalam rumah, dan ada aturan ketat dalam hidup bertetangga. Masyarakat yang hidup di dalam rumah petak, tidak ada hiburan di dalam rumah, dan antartetangga hidup berdesakan yang tidak dapat saling mengingatkan tentang gaya hidup sehat akan sulit mencegah penularan Covid-19.
Kedua, kesehatan emosi. Penelitian Organisasi Buruh Internasional (ILO) pada 2020 menunjukkan, selain menyebabkan jam bekerja menjadi sangat cair sehingga sering tanpa batas waktu, terutama bagi para perempuan, BDR juga menghilangkan kesempatan bersosialisasi dengan orang lain. Hal ini menimbulkan perasaan terisolasi dan kehilangan makna dari sebuah pekerjaan. Berbagai kondisi tersebut menyebabkan lebih dari 41 persen masyarakat dari 15 negara yang BDR selama pandemi Covid-19 menjadi stres.
Menyedihkannya, kebanyakan anggota masyarakat berusaha menghilangkan stres dan kejenuhan di dalam rumah dengan melakukan kegiatan di luar rumah. Akibatnya timbul kerumunan dan mobilitas tinggi yang berujung penularan Covid-19.
Ketiga, selain emosi positif, gaya hidup sehat juga penting untuk pencegahan penularan Covid-19. Sayangnya protokol kesehatan berupa 5M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menghindari kerumunan, mengurangi mobilitas) bukanlah gaya hidup masyarakat kita.
Akan sangat baik apabila rumah menjadi tempat belajar masyarakat tentang gaya hidup sehat. Gerakan bersama dari komunitas terkecil dalam masyarakat sangat diperlukan.
Gerakan PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga) merupakan gerakan yang sangat efektif untuk menularkan gaya hidup sehat. Sayangnya, belum terdengar gerakan PKK terkait pencegahan Covid-19, padahal gerakan PKK sudah berhasil membiasakan warga mengurangi jentik nyamuk untuk mencegah demam berdarah dan meningkatkan gizi anak melalui program posyandu.
Keempat, Crandall dkk (2020) juga menyatakan bahwa keluarga sehat adalah keluarga yang percaya bahwa mereka mempunyai relasi sosial yang baik dan tolong-menolong dengan tetangga. Program Jogo Tonggo sangat bagus membantu anggota masyarakat yang terdiagnosis tertular Covid-19, dengan memberikan makanan dan vitamin. Namun, Jogo Tonggo belum menggerakkan masyarakat untuk saling menjaga supaya tetap sehat. Saat ada tetangga yang tidak pakai masker, kebanyakan masyarakat sungkan mengingatkan. Lebih mudah memberi vitamin C daripada mengingatkan tetangga untuk pakai masker.
Dapat disimpulkan bahwa BDR akan efektif menurunkan Covid-19 apabila, pertama, setiap rumah mempunyai fasilitas bekerja dan belajar yang memadai sehingga anggota keluarga tidak perlu keluar rumah mencari tempat khusus, komputer, sinyal, ataupun Wi-Fi. Kedua, rumah merupakan tempat yang membahagiakan bagi penghuninya sehingga tidak perlu mencari hiburan di luar rumah. Ketiga, relasi antartetangga saling mendukung untuk hidup sehat bersama sehingga gaya hidup sehat bukan milik individu tertentu saja, tetapi milik satu komunitas sehingga tidak saling menularkan penyakit.
Pandemi Covid-19 telah menyadarkan kita masih banyak masyarakat yang tidak memiliki rumah dengan fasilitas yang memadai dan informasi kesehatan yang tepat. Kementerian perumahan rakyat perlu diaktifkan lagi sehingga masyarakat dapat membangun rumah yang dapat sebagai tempat tinggal sekaligus tempat bekerja.
Selain itu, penyediaan informasi kesehatan yang tepat dan mudah dijangkau masyarakat untuk pencegahan penularan Covid-19 sangat penting. Masyarakat kita, khususnya anak muda, banyak belajar dari media sosial. Berbagai informasi, baik yang benar maupun yang tidak benar, mengalir dengan deras kepada masyarakat.
Dari hasil penelitian tim dosen Fakutas Psikologi Unika Soegijapranata diketahui jumlah sumber informasi tidak menyebabkan literasi kesehatan tinggi. Kejelasan informasilah yang meningkatkan literasi kesehatan. Sayangnya, hanya 40,7 persen partisipan penelitian tersebut yang menyatakan tidak bingung terhadap informasi terkait Covid-19. Sebanyak 59,3 persen menyatakan bahwa mereka bingung terhadap berbagai informasi Covid-19 yang bersimpang siur dan sering bertolak belakang. Peran Kementerian Komunikasi dan Informatika perlu ditingkatkan dalam mengatur informasi yang beredar sehingga tidak membingungkan masyarakat.
Semoga kebijakan BDR sungguh meningkatkan kesehatan masyarakat, tidak justru memindahkan kluster penularan Covid-19 dari tempat kerja ke perumahan.
https://www.kompas.id/baca/opini/2021/07/01/tidak-cukup-hanya-bekerja-dari-rumah