Dalam rangka Dies Natalis Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata ke-37, digelar webinar “Kearifan Lokal Sebagai Kekuatan Kolektif untuk Menghadapi Pembelajaran Tatap Muka”, Sabtu (26/6/2021).
Acara yang diselenggarakan secara virtual melalui zoom menghadirkan beberapa narasumber dari pakar psikologi Unika Soegijapranata yaitu Dr M Suharsono MSi dari psikologi sosial dan Dr Siswanto SPsi MSi Psikolog.
Selain itu pada sesi kedua juga menyampaikan materinya seorang budayawan Jawa yang sekaligus akademisi yaitu Dr Adi Eko Priyono MSi serta Gubernur Jawa Tengah H Ganjar Pranowo SH MIP .
Membuka presentasi dalam webinar di sesi yang pertama Dr Suharsono membahas tentang relevansi pandangan dunia Jawa 4T di era pandemi covid-19. Dia menyebut sebuah hasil survei 210 responden ternyata diketahui alasan melaksanakan prokes 5M, lebih lebih banyak disebabkan karena motivasi pribadi untuk menjaga kesehatan diri sendiri, hampir sekitar 90%.
Dengan demikian, ujar Suharsono, menjadi harapan yang positif ke depannya dalam penanganan covid, karena sudah muncul kesadaran secara pribadi untuk menjaga kesehatan. Untuk itu diperlukan parameter untuk melihat apakah tindakan masyarakat sudah tepat atau belum di dalam menanggapi pandemi covid-19 yaitu lewat 4 parameter. Pertama, mempersiapkan psikis dengan kesabaran, keikhlasan, nrima, rila, eling lan waspada dan sebagainya. Oleh karena itu dengan mengoptimalkan akal budi dan hati nurani untuk berjuang mewujudkan potensi diri pada tingkat atau taraf setinggi-tingginya sangat diperlukan.
Parameter kedua, mempersiapkan tindakan kita, tidak hanya mempersiapkan psikis saja tetapi juga melakukan tindakan nyata yang disebut juga dengan istilah ‘rame ing gawe’. Sedangkan parameter utama, tempat yang tepat yaitu dengan mendasarkan pada3 prinsip adalah takdir, darma dan karma, yang ketiganya tidak hanya dipahami dalam konteks pasif melainkan dalam konteks aktif bertindak. Serta perlunya rasa untuk mengetahui kemampuan yang sebenarnya tanpa berpura-pura.
Pada pembicara kedua yang dipaparkan oleh Dr Siswanto membahas tentang pembelajaran tatap muka menjadi sarana pembentukan kebiasaan sehat baru.
“Sebelumnya kita merasa penularan covid-19 mulai menurun, sehingga merasa optimis pada bulan yang akan datang bisa mulai pengenalan tatap muka. Tetapi ternyata kenyataannya dalam beberapa minggu terakhir ini muncul varian baru dari India kemudian merebak sampai Indonesia. Sekarang kita tahu betul tenaga medis sudah mulai kewalahan dan kita sadari jumlah kematian sudah mengalami kenaikan dan ini menjadi peringatan bagi kita untuk bisa segera beradaptasi” ujar Dr Siswanto.
Menurutnya, kita punya banyak sumber daya yang disebut sebagai kearifan lokal, namun sumber daya ini tidak kita berdayakan karena kita lebih tertarik dengan cara-cara yang digunakan oleh masyarakat dunia, yang budayanya tentu berbeda dengan kita. Maka dibutuhkan kejernihan untuk melihat duduk perkara pandemi itu seperti apa Karena pandemi ini masih akan berlangsung lama dan fakta realitas yang berikutnya adalah vaksinasi dapat membantu individu untuk semakin kebal atau jika terkena infeksi mengalami gejala yang tidak parah.
Internalisasi kebiasaan baru, tambah Dr Siswanto, dengan 5M untuk menghadapi pandemi bisa juga melalui beberapa wadah yang sudah ada dan belum dimaksimalkan di dalam masyarakat, seperti halnya keluarga, sekolah, teman, guru, tempat ibadah dan sebagainya, supaya muncul nilai-nilai yang yang bersifat positif sebagai gaya hidup yang menyenangkan bukan menakutkan, ucap Dr Siswanto menegaskan.
Pada sesi kedua, Dr Adi Eko Priyono MSi menjelaskan mengenai peran budaya Jawa dalam menghadapi tatap muka di masa pandemi. Menurutnya, pada dasarnya orang Jawa dalam berkomunikasi tidak hanya mengandalkan komunikasi verbal, tetapi juga non verbal. Sehingga ada ungkapan, ‘Jawa iku nggone rasa’, maka selanjutnya ada istilah ‘roso pangroso’. Dengan kata lain orang Jawa lebih banyak mengandalkan rasa daripada ungkapan fisik,” paparnya.
Orang Jawa melihat dari keseimbangan antara makrokosmos (jagad gedhe) dengan mikrokosmos (jagad cilik), jagad cilik dimaksud adalah diri kita sendiri atau mikrokosmos, dengan jagad gedhe atau yang disebut makrokosmos. Dan pandemi covid-19 muncul karena ada ketidaksimbangan antara jagad cilik dan jagad gedhe, maka konteks ‘jogo tonggo’ dalam mengatasi pandemi bagi orang Jawa sangat relevan, karena jagad cilik yaitu diri kita berelasi dengan jagad gedhe adalah tetangga kita, harus memiliki hubungan yang selaras.
Dengan demikian tatap muka lebih bisa diterima dalam konteks budaya Jawa, karena jika dilakukan secara daring dirasa sangat tidak efektif. Maka menjadi lebih disarankan adalah pembelajaran dengan tatap muka tapi dengan prokes yang ketat.
Sesi akhir webinar, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo hadir dalam webinar, ditengah kesibukannya setelah memantau kondisi masyarakat secara langsung di lapangan. Dirinya mencoba memahami kondisi yang saat ini terjadi. Ganjar hanya mencoba merasakan apa yang dikehendaki oleh masyarakat. Tapi yang harus diketahui yaitu kita saat ini merasakan bersama situasi yang sedemikian cepatnya penularan, sehingga kuburan sudah mulai penuh, penggali kubur mulai kelelahan, rumah sakit sudah penuh, sehingga karena kondisi tersebut orang mudah menjadi emosi atau ngamuk..
Ganjar mengajak penerapan kearifan lokal ditunjukkan, seperti halnya yang sudah diberlakukan dalam masyarakat Jawa Tengah yaitu ‘jogo tonggo’. Namun hal itu tidak mudah karena harus dilakukan, menurut bahasa Jawa adalah ‘seko jeroning ati’ atau hati yang terdalam, karena yang kita lakukan adalah berkaitan dengan rasa.
Dengan semakin tersosialisasikannya ‘jogo tonggo’ maka muncul istilah baru yaitu ‘cantelan’ atau menggantungkan bahan makanan pada pagar atau pintu, saat warga memberi perhatian dan bantuan kepada warga lain yang sedang menjalani isolasi mandiri di rumah secara ikhlas. Ganjar juga mulai mengajak masyarakat untuk ‘eling lan ngelingke’, eling untuk diri kita sendiri dan ngelingke untuk orang lain yang apabila diingatkan masih melanggar, bisa mendapat sanksi sosial. (Sgi)