Andreas Lako Guru besar Akuntansi, Ketua Program Doktor Ilmu Lingkungan (PDIL) Unika Soegijapranata, Semarang
Kendati memberi opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020, namun Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga menyoroti risiko utang dan beban bunga utang pemerintah pusat yang dinilai sudah mengkhawatirkan dan berisiko.
Pemerintah diminta untuk dapat mengerem laju utang dan beban bunga utang sembari meningkatkan penerimaan negara melalui reformasi perpajakan (Kompas, 25/6/2021).
Beban APBN
Apabila serius mencermati sejumlah indikator utama dalam LKPP 2020, kita dapat memaklumi kekhawatiran BPK. Ada sejumlah indikasi yang menunjukkan Indonesia berpotensi mengalami kesulitan keuangan serius pada 2021 dan tahun-tahun selanjutnya.
Pertama, rasio likuiditas LKPP 2020 yang diukur dengan current ratio (CR) yaitu aset lancar dibagi kewajiban jangka pendek, hanya 95 persen. Tercatat aset lancar Rp 665,16 triliun dan kewajiban jangka pendek Rp 701,61 triliun. Besaran CR itu menunjukkan untuk membayar kewajiban jangka pendek pada 2021 saja, pemerintah masih harus mencari pendanaan lain, misalnya berutang lagi, Rp 35,08 triliun.
Besaran CR itu juga mengindikasikan aset lancar LKPP 2020 sama sekali tidak bisa digunakan untuk menopang belanja dalam APBN 2021 Rp 2.750,0 triliun. Belanja sebesar itu hanya bisa ditopang oleh sumber pendapatan dari 2021 yang diperoleh dari pajak, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) dan hibah.
Mencermati penerimaan pajak dan PNPB yang menurun drastis pada 2020, yakni Rp 326,18 triliun (16,7 persen), maka sangat mungkin pada 2021 ini pendapatan negara yang bersumber dari dua pos tersebut bakal kian merosot. Hal ini karena Covid-19 masih terus berlanjut dan akan menyebabkan defisit APBN 2021 kian membengkak.
Menghadapi situasi itu, sangat mungkin pada 2021 pemerintah akan menempuh lagi opsi pembiayaan dari dalam dan luar negeri dalam jumlah lebih besar. Pembiayaan untuk menutup defisit APBN 2020 naik drastis dari Rp 402,06 triliun (2019) menjadi Rp 1.193,49 triliun (2020) atau naik 196,85 persen. Peningkatan itu menyebabkan beban bunga utang akan melonjak pada 2021 dan tahun-tahun selanjutnya.
Kedua, rasio utang pemerintah kian meningkat. Dari Neraca LKPP 2020, terlihat kewajiban pemerintah per 30/12/2020 adalah Rp 6.625,48 triliun, sementara ekuitas hanya Rp 4.473,20 triliun. Kewajiban meningkat Rp 1.285,26 triliun (24,07 persen), sementara ekuitasnya turun Rp 654,11 triliun (12,76 persen). Berdasarkan angka itu, rasio kewajiban pemerintah pada 2020 yang diukur dengan rasio utang terhadap aset (debt to asset ratio/DAR) adalah 59,7 persen, sementara rasio ekuitas hanya 40,3 persen.
Dalam konteks Indonesia sebagai suatu entitas, posisi DAR sebesar itu mengkhawatirkan dan memberi sinyal Indonesia memiliki risiko finansial yang besar. Posisi itu bisa menyebabkan Indonesia mengalami tekanan finansial (financial distress) di 2021 dan tahun-tahun selanjutnya apabila sumber-sumber penerimaan negara tidak segera digenjot dan sumber-sumber pembelanjaaan tidak segera diefisienkan.
Memang, dari jumlah kewajiban, utang jangka pendek yang dibayar pada 2021 hanya Rp 701,61 triliun (10,59 persen). Sisanya, Rp 5.923,87 triliun (89,41 persen) adalah utang jangka panjang yang masih bisa diupayakan solusinya pada 2022 dan tahun-tahun selanjutnya. Ada yang menyatakan, kalau jumlah utang jangka pendek tersebut dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB), kemampuan pemerintah membayarnya masih aman.
Saya tidak setuju dengan opini itu. Alasannya, tidak semua PDB berpotensi menghasilkan pajak. Rasio pajak terhadap PDB hanya 9,76 persen (2019) dan 8,33 persen (2020). Jumlah penerimaan pajak bahkan tidak mampu menutup belanja negara pada tahun berjalan. Untuk menutup defisit APBN 2020, misalnya, pemerintah masih harus mencari sumber pembiayaan dari pos dalam dan luar negeri Rp 1.193,29 triliun.
Ketiga, defisit APBN kian membengkak. Defisit APBN 2020 mencapai Rp 947,70 triliun, sementara pada APBN 2019 defisitnya Rp 348,65 triliun. Selama 2012-2018, defisitnya berkisar Rp 153,3 triliun – Rp 340,1 triliun. Semua defisit itu selalu ditutup dengan pembiayaan dari dalam dan luar negeri. Akumulasi defisit itulah yang menyebabkan kewajiban pemerintah kian membengkak.
Mengatasi krisis keuangan
Lalu, bagaimana solusinya? Secara umum, saya sepakat dengan harapan BPK agar pemerintah pusat dapat segera mengerem laju utang sembari meningkatkan penerimaan negara melalui reformasi perpajakan. Saat ini, pemerintah pun sudah mengajukan RUU KUP kepada DPR untuk reformasi perpajakan. Namun, mengerem laju utang dalam kondisi seperti saat ini, tidaklah mudah. Perlu solusi lain yang lebih efektif.
Pertama, memacu penerimaan pajak. Caranya, misalnya dengan menaikkan tarif pajak untuk sejumlah obyek kena pajak yang dinilai terlalu rendah. Misalnya, menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 15 persen sesuai rata-rata PPN dunia. Juga, ekstensifikasi obyek kena pajak terhadap sejumlah kegiatan dan obyek ekonomi digital yang selama ini masih bebas pajak.
Selain itu, melakukan pengusutan intensif terhadap korporasi penghindar dan penggelap pajak. Data Ditjen Pajak (2021) menunjukkan, jumlah wajib pajak (WP) badan yang melaporkan rugi selama lima tahun berturut-turut terus meningkat dari 5.199 WP (2012-2016) menjadi 9.496 WP (2015-2019).
Dari sisi akuntansi, fenomena itu sangat tak logis. Sangat mungkin, korporasi pelapor rugi itu telah menggunakan berbagai teknik manajemen laba untuk merekayasa labanya agar jumlahnya minus. Tujuannya, agar bisa menghindar dari Pajak Penghasilan (PPh) Badan.
Kedua, efisiensi belanja negara. Selama masa Covid-19, belanja negara naik drastis. Pada 2020, belanja naik Rp 599,05 triliun (171,82 persen). Sementara pada 2021, walaupun hanya dianggarkan naik 6 persen, namun akibat kenaikan kasus Covid-19, sangat mungkin belanja negara akan meningkat signifikan lagi. Di sisi lain, pendapatan dari pajak dan PNBN diperkirakan akan merosot lagi sehingga defisit APBN akan kian melebar.
Menghadapi realitas itu, efisiensi anggaran untuk menekan defisit APBN sangatlah krusial. Misalnya, memotong atau meniadakan pos-pos pengeluaran yang dinilai kurang mendesak. Juga, menunda pos-pos pembelanjaan modal yang dinilai kurang mendesak.
Atau, mengurangi dana transfer ke daerah karena hasil audit BPK menunjukkan mayoritas daerah makin tidak mandiri fiskalnya dan tergantung pada pemerintah pusat selama 2013-2020. Sejumlah rekomendasi BPK juga layak ditindaklanjuti untuk menekan defisit APBN.
Kita berharap agar pemerintah dan semua pihak bisa bersama-sama berupaya dengan caranya masing-masing menekan laju kasus Covid-19. Selama 17 bulan terakhir, kita mestinya sudah belajar dari sejumlah kecerobohan kita dalam merespons realitas Covid-19.
Ke depan, kita tak boleh lagi mengulangi kecerobohan itu agar Covid-19 bisa mereda dan aktivitas perekonomian bisa bergairah lagi. Hanya dengan cara itu, defisit APBN dapat ditekan, krisis keuangan dapat dihindari dan kemampuan pemerintah dalam membayar utang dapat pulih lagi.
—https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/06/mengatasi-tekanan-keuangan-negara